Tempatku menuliskan asa yang tertanam dalam pikiranku, mencoba meletakkannya ke dalam sebuah goresan pena. Membuatnya dapat bernilai manfaat untuk siapapun di sekelilingku dan membangunganku dari perasaan terkungkung dan jenuh, karena harus menyimpan asa ini dalam otakku
Sabtu, 24 November 2012
Adat Bersendikan Syara'
Al Qur’an acap kali menyampaikan pesan-pesannya melalui perumpamaan. Cara seperti ini bagi sebagian orang memang sangat mudah dicerna dan gampang diterima. Ketika berbicara tentang orang-orang munafik, misalnya, Al Qur’an melukiskannya dengan orang-orang yang menyalakan kayu bakar yang tiba tiba padam saat membutuhkannya. Mereka pun digambarkan seperti orang-orang yang memerlukan air hujan namun menghindarinya lantaran takut suara petir. (Al Baqarah:19-20). Amal sedikit yang dilakukan dengan ikhlas diumpamakan dengan sebutir biji tumbuhan yang disirami air embun, sedangkan amal yang dilakukan dengan riya, tak ubahnya seperti debu yang menempel di batu licin dan disirami hujan deras (Al Baqarah:264). Amal kebajikan dilambangkan dengan kebun yang subur dan mengungkit kebajikan diserupakan dengan api yang membakar (Al Baqarah:266). Ketika berbicara kalimah thayyibah, ditampilkanlah sebuah pohon rindang yang berbuah lebat, dan kalimat khabitsah ditampilkan dalam wujud pohon yang buruk dan tak berakar kuat. Demikianlah Al Qur’an banyak menampilkan perumpamaan guna menarik perhatian orang sekaligus mempermudah sampainya tuntunan kepada yang menerimanya.
Adalah sebuah kenyataan bahwa setiap negeri memiliki bentuk sendiri dalam menggunakan perumpamaan yang dengan itu para penduduknya biasa disapa. Untuk menyampaikan pesan agar manusia senantiasa bersiap diri menghadapi berbagai kemungkinan, orang Arab akan mengatakan “Sebelum memanah penuhi dulu keranjangnya”. Tetapi orang Indonesia akan mengatakan “Sedia payung sebelum hujan”.
Nusantara dikenal sebagai sebuah negeri yang banyak membuat simbol simbol dalam kehidupannya. Simbol simbol itu ada dalam segala sisi kehidupan; dalam kelahiran, dalam pernikahan, kematian, atau pekerjaan. Setiap kali sebuah peristiwa terjadi, para pini sepuh pun akan segera tampil ke muka menyampaikan wejangan melalui simbol simbol tadi. Bagi mereka yang tidak memahami latar
belakangnya terkadang menilai bahwa upacara upacara yang dilakukan itu merupakan sebuah ritual peribadatan sehingga – karena tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW – dianggap bid’ah yang harus dihapuskan. Padahal bagi pembuatnya bisa jadi hal itu merupakan permisalan bagi sebuah ajaran atau falsafah hidup yang sejatinya didasarkan kepada tuntunan Syari’at.
Sebagai misal dapat dikemukakan antara lain tradisi “Injak Telor” sesaat setelah ijab kabul pernikahan. Ketika sebuah pernikahan baru saja selesai dilangsungkan, mempelai pria diperintah agar menginjak telur mentah tetapi jangan sampai pecah. Maknanya adalah bahwa wanita itu diserupakan dengan telur yang tipis kulitnya sehingga sedikit saja tertekan akan pecah serta tak dapat disambungkan kembali. Dan dengan pecahnya telur maka hilanglah harapan untuk mendapatkan “generasi” baru anak ayam. Yang dituju oleh pesan simbolik ini adalah agar mempelai laki-laki menyadari bahwa seorang wanita yang ada di sampingnya itu adalah sejenis makhluk yang sangat halus dan p4eka perasaannya, sehingga apabila dikasari sedikit saja akan tenggelam dalam kesedihan, bila sekali saja dikhianati akan sulit melupakan. Dan penting untuk dicatat – melalui pesan itu – bahwa seperti apa mental dari anak yang dilahirkan, sangat dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan sang wanita saat mengandungnya. Pada bagian lain telah pula diketahui bahwa kaum laki laki memiliki sperma berbentuk jentik jentik, sementara kaum wanita memiliki ovum yang tak lain dari indung “telur”. Alangkah bijaksana dan pandainya nenek moyang kita yang telah menjadikan telur sebagai gambaran mempelai wanita. Semua pesan itu tentu saja sejalan dengan pesan Al Qur’an yang mengatakan agar para suami mempergauli isteri-isteri mereka dengan baik, seperti dalam firman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النساء:19)
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan pergaulilah mereka dengan baik.. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (An Nisa:19).
Sementara si mempelai wanita diberi sebuah pelita (lampu kecil) dengan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya dan kapas sebagai sumbunya. Ketika itulah terdengar pesan agar jangan sampai api yang kecil itu padam. Maka dengan bersusah payah sang mempelai melindungi api itu dari angin yang dikipaskan orang-orang sekitarnya. Idealnya minyak yang dipakai adalah minyak tanah dan sumbunya dengan kain. Tetapi para pini sepuh itu ingin mengingatkan seorang wanita akan sebuah realitas yang mungkin dialaminya; sekecil apa pun penghasilan suami dan seburuk apa pun sarana Rumah Tangga yang dimiliki, jangan pernah menyebakan kasih sayang mereka menjadi padam. Isteri memang merupakan manusia yang sangat berpengaruh dalam menentukan terang dan gelapnya Rumah Tangga
Kejayaan Pakuan Pajajaran dan Hari Jadi Bogor
Dayeuh Pakuan (Kota Bogor sekarang) pernah mengalami masa jaya ketika menjadi purasaba (ibu kota) kerajaan Pajajaran dengan rajanya yang terkenal Sri Baduga Maharaja( Prabu Siliwangi) dari tahun 1482-1521 Masehi, peristiwa penobatan Sri Baduga pada tanggal 3 Juni 1482 sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Bogor. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, terjadi hubungan internasional yang pertama dengan bangsa Eropa, bilateral dengan Portugis pada tahun 1513, sedangkan negara negara lainnya yang sempat jadi sahabat dalam perdagangan adalah : Cina, Keling, Parsi, Mesir, Madinah, Campa, Pahang, Kelantan, Jawa dan beberapa puluh negara yang ada di Nusantara lainnya. Untuk kepentingan ini, menurut naskah kuno Kropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, telah disiapkan "Jurubasa Darmamurcaya" atau maksudnya Juru Penerang Bahasa yang tentu saja termasuk "Ahli Bahasa" dan "Penterjemah Bahasa" di dalamnya. Walaupun saat itu oleh masyarakat dikenal sebagai "Kerajaan Pajajaran" , tapi ketika saling tukar menukar utusan, Sri Baduga Maharaja secara resmi menyebut negerinya sebagai ”KerajaanSunda”. Kembali kepada "Bogor/Pakuan riwayat kejayaanmu dulu", menurut uraian catatan perjalanan Tome Pires seorang Portugis yang mengikuti kunjungan kenegaraan tahun 1513 ke "Pakuan Pajajaran", yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi "The Suma Oriental" tahun 1944, terdapat reportase tentang keberadaan "DAYO(dayeuh)" sebagai ibukota kerajaan Sunda (Pajajaran). Menurut catatan reportase Tome Pires, penduduk ibukota Pakuan Pajajaran ada 50.000jiwa. Pelabuhan pelabuhan penting kerajaan Pajajaran tercatat : Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Kalapa, Karawang dan Cimanuk. Sehingga Tome Pires menyebut Kerajaan Pajajaran sebagai " Negeri Ksatria dan Pahlawan Laut". Komoditi ekspornya : beras, lada, kain tenun, tamarin (asem), juga diceritakan bagaimana melimpah ruahnya sayuran dan daging di pasar pasar. Impornya : tekstil halus dari Cambay, kuda dari Pariaman 4000 ekor pertahun. Alat pembayaran : Uang Emas dan Uang Kepeng. Mengenai kota Pakuan dan istana tempat kediaman Raja Pajajaran : terdapat rumah rumah yang besar dan indah terbuat dari kayu dan palem. Istana kerajaan dikelilingi oleh 330 pilar (kayu) sebesar tong anggur yang tingginya mencapai 4 fathom (kira kira 9 meter),denganukiranindahdisetiappuncaknya. Kesan tentang Raja Sunda , Tome Pire menulisnya Kerajaan Sunda diperintah dengan adil, hampir sama kesannya dengan penulis naskah kuno "Carita Parahiyangan". Purbatisti-Purbajati atau "Peraturan dan Ajaran Leluhur" yang berlaku umum dan harus dipatuhi disebut sebagai Sanghiyang Siksa yang saat ini naskah aslinya disimpan pada Kropak 630 milik Museum Pusat Jakarta, terdaftar sebagai seri naskah Manuscript Soenda B, Penulisan menjelaskan bahwa nama isi naskah tersebut adalah " Siksakandang Karesian " dan kundangeun urang reya (untuk pegangan hidup orang banyak). Naskah itu terdiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya nora catur sagara wulan yang berarti tahun 1440 saka atau 1518 masehi. Siksakandang Karesian ini semacam perundang-undangan yang berlaku pada masa itu. Dari naskah kuno itulah kalau kita ingin mengetahui nilai tradisional Kerajaan Pajajaran. Sebab angka tahun penulisan naskah adalah tahun 1518 Masehi, sejaman dengan masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa dari tahun 1482 sampai dengan tahun 1521Masehi. Dari naskah Siksakandang Karesian pada lembar ke 13 ada contoh pelajaran moral tentang kritik yang intisarinya : kita harus jembar hati dalam hal menerima kritik, bila kita menerima kritik, budi kita akan makin padat berisi "KANGKEN PARE BEURAT SANGGA" yang berarti "seperti padi runduk karena berat isinya".. Dari Siksakandang Karesian kita akan mengetahui berbagai aspek kehidupan berdasarkan keahliannya masing masing seperti : bila ingin tahu semua cerita wayang, bertanyalah kepada "MEMEN". Bila ingin tahu segala macam lagu bertanyalahkepada "PARAGUNA" (ahli karawitan). Ahli permainan kaulinan disebut "EMPUL", ahli cerita pantun"PREPANTUN". ahli lukis, "LUKIS", ahli tempa besi dan ahli membuat perkakas, "PANDAY", ahli ukir"MARANGGUY", ahli masak, "HAREUP CATRA", ahli batik, "PANGEUYEUK", ahli perang , "HULUJURIT"ahli mantera, "SANG BRAHMANA", ahli ilmu pengetahuan alam , "BUJANGGA", ahli kenegaraan ,"RAJA"ahli tanah, "MANGKUBUMI", ahli pelabuhan, "PUHAWANG" ahli hitung dagang , "CITRIK", ahli bahasa asing, "JURUBASA DARMAMURCAYA". Banyak hal hal yang patut diketahui tentang "kearifan kebudayaan" dari kitab Sanghiyang Siksakandang Karesian. Mungkin naskah kuno kropak 630 itulah merupakan manifestasi "Wangsit Sri Baduga Maharaja" yang sesungguhnya MENGENAI HARI JADI BOGOR. Latarbelakang kebudayaan Sunda dahulu adalah pertanian ladang. Dahulu di ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti tiap tahun. Dalam upacara itu diwajibkan hadir para raja raja daerah dari seluruh daerah Sunda. Waktu upacara dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama 9 hari kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama. Saat ini di daerah Ciptagelar (Sukabumi -Lebak) upacara Gurubumi masih bisa dilakukan oleh masyarakat adat setempat, yg menarik sesepuh adat di Ciptagelar saat ini mengemukakan bahwa Kuwerabakti tidak bisa dilaksanakan di daerahnya dan hanya bisa dilakukan di dayeuh (PAKUAN/BOGOR) karena Kuwerabakti dahulu hanya dilakukan di ibukota PAJAJARAN. Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti dahulu diadakan 49 hari setelah upacara penutupan musim panen di daerah-daerah dan 9 hari sebelum malam bulan purnama (antara minggu kedua Mei sd ketiga Juni). Perhitungan seperti itulah yang mendasari perhitungan HARI JADI BOGOR, yang mengambil momentum upacara Gurubumi dan Kuwerabakti pada tahun 1482 ketika Prabu Siliwangi dinobatkan, "3 JUNI" 1482. Sumber sejarah prasasti batutulis menerangkan sebagai berikut : 1.....wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun diwastu. 2. diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diya dingaran sri. 3. baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu de- 4. wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis- 5. kala sa(ng) sidamokta digunatiga, i(n) cu rahyang niskala wastu. 6. ka(n) canasa(ng) sidamokta kanusalarang , ya siya nyiyan sakaka-. 7. la gugunungan , gablay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga. 8. rena maha wijaya, ya sinya pun.....i saka, panca panda 9. wa e (m) ban bumi. Transliterasinya: Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (untuk) prabu Ratu almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga. cucu sang Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, mengeraskan (jalan) dengan batu. membuat hutan samida. membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Ya, dialah (yang membuat semua itu). (ditulis) Dalam tahun Saka lima-pandawa-pangasuh-bumi(1455 saka atau (1533 Masehi)). Catatan: Prasasti Batutulis dibuat oleh Surawisea raja pengganti dan putra dari Prabu Siliwangi dalam upacara peringatan setelah 12 tahun meninggal ayahnya yaitu Sri Baduga Maharajá (Prabu Siliwangi) sebagai penghormatan atas kebesaran dan keberhasilan sang ayah selama 39 tahun memimpin Pajajaran. Dari catatan ekspedisi VOC Belanda, berita naskah tua yang tersimpan di musium dan hasil penelitian, bisa diperkirakan parit yg dibuat Sri Baduga Maharaja (Siliwangi) ada di luar benteng Pakuan, membentang dari jembatan bondongan sampai stasiun Batutulis mengikuti alur rel KA sekarang (rel KA adalah dasar parit yang salah satu sisi luarnya telah diratakan). Sedangkan yang disebut Gugunungan dan Telaga Rena Mahawijaya yg disebut dalam prasasti Batutulis terletak di Rancamaya, gugunungan tepatnya adalah bukit badigul Rancamaya yg sekarang menjadi lapangan golf perumahan Rancamaya dan pada kaki bukit badigul ini dahulu terbentang Telaga Rena Mahawijaya yg sekarang telah berubah menjadi perumahan Rancamaya. Demikianlah, Pakuan Pajajaran adalah purasaba (ibukota) kerajaan besar di Jawa Barat, yang pada masanya merupakan tempat tinggalnya Raja Raja Pajajaran dan tempat hadirnya seluruh raja daerah dan para tamu negara dengan upacara besarnya yaitu “KUWERABAKTI” (seba ka raja). Upacara ini hanya dilakukan di ibukota Pajajaran yang sekarang kita namai BOGOR, dan seluruh raja daerah menyampaikan laporan tapanya (tugas pekerjaannya) pada waktu “seba” kepada raja membawa hasil bumi. Persembahan ketika itu dilengkapi diantaranya anjing pangerek (anjing untuk berburu)., kapas untuk bahan kain dan padi. Padi yang disampaikan untuk raja disebut “pangeureus reuma” atau padi yang tumbuh dari sisa gabah yang jatuh ke tanah kemudian tumbuh, jadi untuk makan raja, padi itulah yang diberikan rakyatnya, bukan padi/beras yang istimewa. Inilah contoh bijak seorang raja/pemimpin yang baik dan bijaksana bernama Sri Baduga Maharajá Ratu Hají di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratudewata atau masyarakat menyebutnya sebagai Prabu Siliwangi. Beliau selama 39 tahun memimpin Pajajaran membuat kondisi negara yang damai, negara aman tenteram dan sejahtera dalam tatanan kerajaan dan negara yang terkenal memiliki sistem Agraris Maritim.
Jumat, 23 November 2012
Fanatisme Golongan
وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ
وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ
الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ
فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ(البقرة:113)
Artinya: ”Orang orang Yahudi berkata, ”Orang orang Nasrani itu tidak punya pegangan”. Dan orang orang Nasrani berkata,”Orang orang Yahudi itu tidak punya pegangan”, padahal mereka membaca Kitab (yang sama). Begitulah, orang orang yang tidak mengetahui akan berkata seperti yang mereka ucapkan. Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan”. (Al Baqarah:113).
Yahudi bukanlah nama sebuah Agama, melainkan nama bagi sebuah Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) Islam yang didirikan para pengikut Nabi Musa setelah ia meninggal dunia. Sebutan Yahudi disandarkan kepada nama seorang tokoh keturunan Nabi Ya’qub, yaitu Yahuda. Namun fanatisme dan kecintaan Bani Israel terhadap ORMAS ini telah menggeser Islam dari hati mereka, sehingga lambat laun kata Yahudi masyhur dikenal sebagai nama sebuah Agama yang dibawa oleh Nabi Musa AS, padahal selama hidupnya, sekali saja, sang Nabi itu tak pernah mengatakan kata tersebut untuk sebuah Agama. Demikian pula Nasrani, pada mulanya ia bukanlah nama sebuah Agama. Nasrani adalah nama sebuah ORMAS Islam pengikut Nabi Isa AS yang pemberian namanya diambil dari nama sebuah kota yang merupakan daerah asal Nabi ISA AS, yaitu Nashirah atau Nazaret. Bahwa pada hari ini Nasrani dipahami sebagai nama sebuah Agama yang dibawa Nabi Isa AS, itu tak lain karena sikap fanatik para penganutnya terhadap ORMAS tersebut. Bahkan kata Islam yang diperkenalkan, diajarkan dan diperjuangkan Nabi mereka, tak lagi dikenal dalam kehidupan mereka.
Penamaan ORMAS ORMAS seperti ini bukanlah perkara yang terlarang. Oleh karena itu dalam sejumlah ayatnya, Al Qur’an masih menyampaikan sanjungan kepada para “anggota”-nya. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(البقرة:62)
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang orang Nasrani dan Shabi’in yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta mengerjakan amal saleh, mereka akan mendapatkan pahala mereka di sisi Tuhan mereka, dan mereka tiada merasa takut atupun bersedih hati”.(Al Baqarah:62).
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(المائدة:69)
Artinya: ”Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’un dan orang-orang Nasrani yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta mengerjakan amal saleh, maka mereka tidak akan diliputi rasa takut dan tidak pula bersedih hati”.(Al Ma’idah:69).
Yahudi dan Nasrani membaca Kitab yang sama, Taurat. Bahkan keduanya mengklaim dirinya sebagai ORMAS ORMAS yang mengamalkannya secara “Kaaffah”. Tetapi anehnya kedua ORMAS itu tidak pernah rukun, masing-masing golongan merasa diri paling benar, bahkan satu dengan yang lain saling mengkafirkan. Ironisnya, sekali lagi, kedua ORMAS itu membaca kitab yang sama. Kalau begitu, di mana sesungguhnya pangkal persoalannya ?. Al Qur’an secara jelas menyatakan: ”Begitulah orang-orang yang tidak mengetahui akan mengatakan seperti ucapan mereka”. Jadi, keributan yang terjadi di tengah mereka adalah karena adanya orang-orang yang tak cukup pengetahuan tentang kitab suci ikut campur berbicara masalah Agama. Hal ini diperparah lagi oleh fanatisme kelompok, yang menyebabkan tertutupnya pintu hati mereka menerima kebenaran dari selain “Madzhab” yang dianutnya. Dengan bahasa lain, mereka telah mengganti kitab suci dengan kitab Madzhabnya dan menukar sabda Nabi dengan ucapan Ulama dari kelompoknya. Dari sinilah kemudian Allah mencela mereka dan menisbatkan mereka ke dalam kekufuran, meski mereka sendiri tak menyadari.
Apa yang terjadi di tengah kaum terdahulu sangatlah mungkin terjadi di tengah Ummat Muhammad SAW ini. Ditampilkannya kisah mereka sesungguhnya merupakan sinyal bagi kaum Muslimin agar waspada dan jangan salah bersikap, atau supaya mereka tidak mendapatkan cela di hadapan Allah sebagaimana yang terjadi pada pendahulunya.
Wahhabi atau Muhammadiyah adalah nama sebuah ORMAS yang penamaannya terambil dari kata Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pembaharu dari Najd, walaupun belakangan para anggotanya mengklaim bahwa kata Muhammad di sini dinisbatkan kepada Muhammad Rasulullah SAW. Nahdhatul Ulama, adalah sebuah ORMAS Islam yang penamaannya diambil dari nama tokoh yaitu Ulama, yang merupakan para pendirinya sekaligus anutannya dalam beragama. Kedua ORMAS di atas menyandarkan namanya kepada tokoh-tokoh sebagaimana yang dilakukan Yahudi. Adapun ORMAS yang menyandarkan namanya kepada suatu daerah atau kawasan — seperti Nasrani —dapat diberikan contohnya Nahdhatul Wathan yang berarti tanah Air. Seperti penulis kemukakan di atas, memberikan nama seperti ini tidaklah ada larangan, selama tetap berada pada komitmen keislaman dan menempat kan ORMAS pada posisinya. Namun, adakah fanatisme ORMAS Islam di kalangan Ummat Muhammad ini menyerupai Yahudi dan Nasrani ? Penerbit dan Toko Toko Buku cukup menjadi jawabannya, lihatlah ungkapan kata “Bid’ah”, “Musyrik” dan “Sesat” mereka alamatkan kepada saudaranya. Bila anda bertanya mengapa kaum Muslimin berseteru dengan sesamanya padahal mereka membaca kitab yang sama, bacalah kembali firman di atas: ”Begitulah orang-orang yang tak mengetahui akan mengatakan seperti ucapan mereka”. Dan apakah kecintaan kaum Muslimin kepada ORMAS kelompoknya melebihi cintanya kepada Agamanya ?. Selenggarakan saja sebuah kegiatan dengan label Islam, niscaya sebuah Masjid pun tak akan penuh terisi seluruh ruangannya. Setelah itu gelarlah sebuah acara dengan lebel ORMAS tertentu, niscaya Stadion Utama Senayan tak akan mampu menampung pengunjungnya. Bila hal ini telah berlaku, maka sesungguhnya berlakulah larangan Allah terhadap mereka sebagaimana telah diberlakukan kepada pendahulu mereka, Yahudi dan Nasrani. La haula Wala Quwwata Illa Billah !!
Ahlan Wa Sahlan
Air mata itupun mengalir. Dari pelupuk mata orang-orang yang begitu
berjasa dalam hidupku. Ibuku, dalam pelukan hangat dan linang haru ia
membisikkan beberapa kalimat kepadaku, anaknya. Bapak, seperti biasa ia
lebih memilih diam dalam keramaian, namun dalam diamnya ia menyiratkan
harapan besar kepada anaknya, itu aku ketahui beberapa jam sebelum
keberangkatan ke bandara setelah bercakap empat mata dengannya. Ya,
bagiku ia seorang nelayan yang jujur dalam pengabdiannya sebagai kepala
keluarga, ia mampu menyekolahkan enam putra-putrinya agar lebih tinggi
darinya yang hanya lulus sekolah dasar. Kakak-kakakku, adik-adikku,
juga keluarga yang senantiasa memberikan semangat untukku agar selalu
tegap dalam langkah dan berjuang tanpa lelah. Tak lupa juga mereka,
orang-orang yang tidak ada hubungan darah denganku namun begitu gigih
mengumandangkan arti perjuangan dan pengorbanan dalam hidup. Mereka
adalah guru-guruku, sahabat-sahabatku, juga kawan-kawanku yang
memberikan pemahaman akan kasih sayang, kepedulian, kelembutan,
ketegasan, kesetiaan, kesabaran, keberanian, dan lain sebagainya hingga
menjadikan hidup ini penuh dengan hikmah baik yang tersirat maupun
tersurat. Subhaanallah inilah rahasia kehidupan yang senantiasa
memperlhatkan warnanya yang beraneka ragam. Tak ayal, matapun tak
sanggup membendung air yang ingin keluar untuk bisa menikmati suasana
yang mengharu biru ini. Ya, sisi cengengku akhirnya nampak dan tak dapat
ku tahan di depan mereka, orang-orang yang penuh arti bagiku. Dan
bandara soekarno-hatta menjadi pijakan awal yang lantas memisahkanku
dengan mereka untuk menuju the next struggle. Ya, the next
struggle, karena telah ku tulis bahwa “LIFE IS STRUGGLE.”
Pesawat emirates siap membawa penumpang untuk terbang mengudara. Burung besi raksasa ini terlihat gagah di hadapan anak adam yang akan memenuhi kandungannya. Alhamdulillah syiar Islam tampak dalam penerbangan ini, sebelum memberikan pengarahan, pramugari membacakan doa berkendara yang dituntunkan oleh Nabi Saw. Beserta penumpang lainnya, kami pun bersiap menuju dubai, Uni Emirat Arab. Lho kok dubai? Ya, terlebih dahulu kami transit di dubai. Dubai International Airport namanya, ia menunjukkan keangkuhannya dengan penuh pesona yang serba modern. Di sepanjang lorong bandara, ia benar-benar pamer dengan kemegahannya. Ia menjadi representasi Uni Emirat Arab dewasa ini yang terseret dalam arus modernisasi di segala lini. Penghargaan-penghargaan dengan bangga di pajang dalam bentuk poster yang superbesar. Ia berada di level berbeda jika di bandingkan dengan bandara kebanggaan nusantara. Mulai dari pelayanan, ketertiban, dan infrastruktur yang digunakan.
Kurang lebih tiga jam kami menunggu penerbangan berikutnya. Seperti sebelumnya, pramugari terlebih dahulu membacakan doa. Bersiap kami menatap tempat tujuan, Ardhul anbiyaa’, Mesir. Tepatnya di ibu kotanya, Kairo. Pesawat yang dilengkapi dengan kamera bawah memberikan pengalaman tersendiri bagi penumpang. Kami dapat melihat fenomena alam yang ada di bawah pesawat melalui layar yang ada di depan tiap tempat duduk. Karena perjalanan di siang hari, pemandangan cukup jelas terlihat. Nampak gurun pasir yang berbukit-bukit, bangunan khas timur tengah yang mirip kardus kotak-kotak di berdirikan, bentangan sungai Nil, hingga lautan yang aku menebaknya itu adalah terusan suez ataupun ‘induk’nya, laut merah. Menakjubkan, subhaanallah.
Alhamdulillah pesawat landing dengan mulus. Bumi kinaanah telah menyambut kami melalui gerbangnya yang pertama, Cairo International Airport. Berbeda dengan dubai, CIA lebih terkesan mempertahankan ciri khasnya sebagai representasi negara historis yang kaya akan sejarah peradaban manusia. Ya, bicara mengenai Mesir maka kita akan terkesima dengan perpaduan budaya yang menghiasinya dalam kurun waktu yang sangat lama. Mulai dari peradaban tertua di dunia zaman firaun atau terkenal dengan sebutan pharanoic, lalu persinggahan romawi berpadu yunani yang di kenal dengan helenistic, kemudian coptic, dilanjutkan peradaban Islam dengan ciri khas dinasti yang berkuasa, lalu Mesir modern yang kaya cerita, hingga revolusi penuh nuansa heroisme yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai pemenang pemilu setelah lama menjadi musuh utama rezim penguasa. Ya, ia begitu low profile dan sangat jauh jika dibandingkan dengan Dubai. Walau bagaimanapun aku dan teman-teman menyiratkan kata yang sama “ahlan wa sahlan fi ardhil anbiyaa’.”
Keluar dari bandara kami telah dijemput oleh bus untuk dibawa ke flat yang sudah disiapkan. Selama perjalanan menuju flat, aku lebih banyak diam, teringat keluarga yang ada di nusantara, guru, juga sahabat-sahabatku. Tak kuasa, air mata pun menetes membasahi pipi. Pemandangan sepanjang jalan tak begitu aku perhatikan mengingat waktu itu kepala juga agak terasa pening. Mungkin jetlag akibat perjalanan yang mencapai 8000 km lintas benua juga perubahan waktu dan cuaca. Setiba di flat pun rasa pening masih terasa. Namun semua itu dapat ditahan karena rasa bangga untuk menjejaki perjuangan di belahan bumi yang baru. Segera setelah tiba di flat, kami memasukkan barang-barang yang super banyak untuk kemudian istirahat sejenak. Alhamdulillah dengan izin Allah kami dapat flat di lantai ardliyyah atau dasar, sehingga memudahkan kami untuk tidak repot-repot naik turun tangga. Flat kami terletak di Madiinatu Nasr atau Nasr city yang memang banyak mahasiswa asia tenggara khususnya Indonesia yang memilih daerah ini sebagai tempat tinggal. Tepatnya lagi di Hai ‘aasyir, Bawwabah Tsaany, imarah 61.
Beberapa jam setelah istirahat, kakak-kakak senior menyuruh kumpul sebentar untuk taaruf. Ya, merekalah yang nantinya menjadi keluargaku di negeri kedua ini. Ternyata, kebanyakan dari mereka adalah alumni ma’had Husnul Khatimah Kuningan. Hanya empat orang yang merupakan alumni luar, itu termasuk aku. Dan kebetulan kami berempat di kamar yang sama. Di flat sendiri, terdapat tiga kamar yang cukup luas. Setiap kamar diisi empat orang. Tercatat hanya aku dan seorang lagi yang notabene dari Jawa. Mayoritas dari Sunda, tak ayal bahasa sunda pun menjadi dominan di sini, ya ya ya mungkin keuntungan bagiku untuk belajar bahasa sunda juga, siapa tahu kelak Allah menakdirkanku dengan orang sunda, hahaha. Ketiga teman sekamarku juga dari suku sunda, hanya saja salah satu mereka bukan Sunda asli, tepatnya blesteran minang dan sunda. Hari pertama aku manfaatkan untuk menjalin keakraban dengan mereka, sharing, canda, dan tawa pun mewarnai kebersamaan kami. Hanya saja tak dapat disangkal, kepala ini masih cukup pening dan butuh istirahat lebih.
Azan ashar berkumandang. Dengan ditemani kakak senior, aku dan kawanku pergi ke masjid untuk pertama kalinya setelah menjejakkan kaki di kairo. Masjid terletak cukup dekat dari flat. Jalan kaki tak lebih dari sepuluh menit kami sudah sampai. As salam namanya, cukup besar di tambah satu bangunan lagi yang dari luar menyerupai mushala, namun ternyata ia adalah daurul miyah, tempat wudhu dan toilet. Masjid ini berbentuk segi delapan. Hanya memiliki satu lantai tapi lumayan luas untuk menampung jamaah. Dari papan pengumuman yang terpampang di dinding masjid tertera bahwa masjid tidak menerima sumbangan bahkan infak atau amal. Oleh karena itu disini tidak terdapat kotak amal lazimnya masjid di Indonesia. Masjid inilah yang menjadi tempat bersujud dan mengadu kami kepada Rabb pencipta alam semesta di awal-awal hari kami di kairo. O ya, ada cerita lucu ketika kami menunggu waktu shalat Isya’ setelah menunaikan shalat maghrib. Kepala yang masih pening membuat kami ingin segera istirahat dan tidur di flat selepas shalat Isya’. Setelah azan isya’ dan shalat sunnah qabliyah kami menanti iqamah. Dua puluh menit lebih iqamah tak kunjung dikumandangkan. Kepala yang masih pening membuat kami tidak sabar menanti, akhirnya kami pun berinisiatif membuat jamaah sendiri di pojok masjid. Teman-teman menunjukku untuk menjadi imam. Eh, ternyata ada 3 atau 4 orang Mesir yang ikut jamaah, mungkin ia mengira jamaah masjid sudah selesai. Setelah salam, mereka pun berdiri lagi mengikuti jamaah masjid yang baru di mulai sambil ngomong-ngomong gag jelas. Kami pun cuek saja dan akhirnya memilih pulang beristirahat agar dapat menyesuaikan waktu Kairo esok harinya.
Alhamdulillah, di hari kedua aku relatif bisa menyesuaikan dengan waktu. Agaknya teman-teman masih belum sepenuhnya bisa, banyak dari mereka yang masih melek malam harinya dan baru tidur pagi hari, masih berjiwa Indonesia. Hanya saja kendala cuaca yang bagiku masih banyak perlu penyesuaian, walau hari-hari ini cuaca Mesir masih dalam tahap peralihan sehingga tidak terlalu ekstrim dan relatif sama dengan Jakarta, namun ketahanan tubuhku yang memang kurang baik berakibat pada bibir yang super kering. Lebih parah dari yang ku alami kala di Ciputat. Tapi akhirnya masalah ini dapat teratasi setelah disarankan kakak senior untuk membeli lip mousturizer, berbentuk seperti lipstik yang berharga cukup murah, hanya tiga pounds setengah atau kurang lebih lima ribu rupiah. Di sini aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkan makanan. Apalagi setelah tahu teman-teman serumah pada jago masak, yah... lagi-lagi aku beruntung bisa belajar masak dari mereka. Pernah suatu ketika, teman-teman pada keluar, aku izin tidak ikut karena suatu alasan. Selepas Isya’ mereka tak kunjung datang. Karena perut ini sudah bernyanyi, aku berinisiatif masak untukku pribadi, juga sekalian untuk teman-teman. Karena bingung, aku mencari yang mudah saja, telur plus bumbu pecel. Tatkala masak telur aku salah memasukkan gula yang ku kira garam. Akhirnya jadilah telur gula manis. Karena yang masak, aku terima saja apa adanya. Tak berapa lama teman-teman datang. Melihat ada telur di meja dapur, mereka langsung menyantapnya tanpa menghiraukan rasa. Dalam hati aku berkata, “alhamdulillah ternyata masakanku laku juga” hahaha. Makanan khas Mesir juga tak ekstrim amat rasanya. Hanya saja memang agak asing di lidah, contohnya tha’miyah bil beydl, eisy, fuul, dan lain sebagainya. Untuk bahasa, memang bagiku pribadi masih sulit mencerna. Walau begitu aku beranikan diri untuk bercakap-cakap dengan orang pribumi, kadang waktu beli sesuatu, kadang di bus, atau di masjid. Kalau sudah bener-bener tidak nyambung, ya langsung saja aku katakan, “ musy faahim yaa rayyis, ana gadiid hina.”
Hari kedua di Mesir merupakan jumat pertama bagiku dan kawan-kawanku. Pada shalat jumat pertama ini yang bertindak sebagai imam dan khatib adalah DR. Omar bin Abdul Aziz. Karena memakai bahasa fusha, aku cukup mampu memahami isi khutbah. Khutbahnya berisi tanggapan beliau seputar isu internasional yang tengah marak dan menjadi pusat perhatian dunia. Ya, tentang film penghinaan terhadap Nabi Saw “innocence of Moslem.” Dari khutbahnya, tampak beliau benar-benar geram terhadap apa yang terjadi di barat dan Amerika. Dengan dalih kebebasan berekspresi mereka telah menginjak-nginjak harga diri umat Islam. Belum sembuh luka umat Islam dari gambar-gambar karikatur Nabi Saw, kini telah kembali di serang dengan film yang sangat mendiskreditkan sang musthafa. Ya, mesir merupakan salah satu negara yang melancarkan protes sangat keras atas film ini hingga mengundang perhatian media internasional setelah Libya yang menelan korban tewasnya dubes AS. Pada hari sabtu ba’da dzuhur, ceramah pun masih seputar tanggapan atas film itu. Namun kali ini dengan Syaikh yang berbeda. Aku lupa namanya, namun perawakannya mengingatkanku pada Syaikh Ahmad Yasin, pemimpin kharismatik Hamas Palestina yang syahid- insyaAllah- dibom apache zionis Israel. Sama-sama buta dan lumpuh, bedanya hanya suaranya yang masih menggelegar seperti singa, sementara Syekh Ahmad Yasin suaranya pelan dan berat. Inilah kosekuensi yang harus diambil oleh sang penghina Nabi Saw, maka jangan harap umat islam akan diam dan pasrah. Dalam bukunya Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam satu bab mengenai hal ini dengan judul sangar “pedang terhunus untuk penghujat Nabi Saw.”
Pada sore hari jumat, setiap kamar dihimbau untuk memilih perwakilan yang akan berbelanja keperluan rumah dan kamar. Teman-teman kamar menyuruhku untuk pergi sebagai wakil. Dengan mobil sewaan kami pun menjelajahi kairo untuk mendapatkan barang yang sudah terdata. Alhamdulillah aku dapat menikmati kairo di malam hari dan mengamati pemandangan di sepanjang jalan. Kairo, ia tak seperti yang terbayangkan sebelumnya. Ia layaknya kota mati selepas perang. Untuk orang Indonesia, hendaknya ia perlu bersyukur, jika tidak maka kiranya ia perlu datang ke Kairo. Jalanan yang bergelombang tidak rata, batu-batu yang berserakan, puing-puing yang tercecer di jalanan, dan jarangnya traffict light. Waktu itu kami terjebak macet di pertigaan jalan raya. Tak ada mabahits yang mengatur, tak ada traffict light, akhirnya pengatur lalu lintas dadakan pun tampil. Beberapa dari pengendara keluar dari mobil untuk mengatur lalu lintas dengan sukarela. Sungguh kejadian yang belum pernah ku lihat di Jakarta.
Kami berbelanja di carefour city centre. Sangat ramai. Disinilah aku melihat orang-orang Mesir mulai dari yang tua, hingga anak-anak kecil. Disini pula aku menyaksikan perempuan-perempuan Mesir yang katanya mewarisi kecantikan Cleopatra dan Nefertiti. Memang, mereka rata-rata memberikanku kesimpulan sama. Hidungnya mancung dan rupawan. Bisa jadi benar apa yang dikatakan salah sorang guruku bahwa jelekanya wanita Mesir ketika di Indonesia ia akan jadi artis. Juga apa yang diceritakan novelis Habiburrahman El shirazy dalam noveletnya “pudarnya pesona Cleopatra.” Astaghfirullah, allahumma innii a’uudzu bika min fitnatin nisaa’.
Pesona itu akhirnya ku dapati juga. Karena tidak sabar untuk segera pergi ke kampus, saya dan seorang kawan nekat pergi ke kampus tanpa ditemani senior. Alhamdulillah di perjalanan kami berjumpa dengan mahasiswa S2 dari Indonesia. Kami berkenalan, dan akhirnya beliaulah yang mengantar dan menemani kami menuju Al azhar dan sekitarnya. Sebelum tiba di Al Azhar kami turun lebih dahulu di Halte Hai saabi’ dekat kulliyyatul banaat. Ada kejadian memilukan waktu itu. Seorang sopir angkot membuka pintu mobil, tapi dari belakang taksi melaju hingga tabrakan tak terelakkan. Seketika itu pintu mobil rusak. Adu mulut pun tak tertahankan. Aku berpikir kalau seandainya itu terjadi di Indonesia, pasti bukan hanya adu mulut yang terjadi, melainkan juga adu bogem.
Pesona keilmuan di Al-Azhar benar-benar menarik perhatianku. Ia terletak di wilayah darraasah. Kami berjalan-jalan di sekitar kampus, di masjid Al-Azhar, dan masjid Husein yang di dalamnya terdapat makam yang katanya adalah kepala Husein. Kata kenalan kami di masjid ini banyak orang syiah. Di masjid Al-azhar Asy-syarif sendiri banyak halaqah yang diisi oleh para masyayikh. Itu diselenggarakan setiap hari, dari pagi hari sampai larut malam. Yang dibahas pun bermacam-macam berkaitan dengan ilmu syar’i dan bahasa arab. tergantung tempatnya di setiap bilik. Ada yang di bilik atraak jam sekian membahas tentang nahwu sharf, di bilik maghaaribah jam yang sama membahas ushul fiqh, juga bilik lain yang membahas variasi disiplin ilmu. Subhaanallah, diri ini benar-benar tidak sabar untuk segera masuk kuliah dan mengikuti muhadharah serta halaqah para masyayikh Al azhar.
Ya, walau bagaimanapun aku kini telah menjejakkan kaki di bumi para Nabi. Tujuanku disini bukanlah untuk mencari apresiasi, menarik simpati, alih-alih gengsi. Namun tiada lain adalah untuk menuntut dan menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menjadi bermanfaat bagi umat kelak, khususnya bagi keluargaku. Orientasi niat perlu dijaga agar tidak melenceng dari misi utama. Mesir, khusunya Kairo harus ditaklukan, karena kalau tidak ia akan menaklukanmu. “Al qaahirah in lam tuqahhirhaa qahharatka,” begitu kata pepatah pribumi. Tidak hanya air mata yang melepasku, namun peluh keringat perjuangan orang tua juga telah menjadi bekalku. Perjuangan di depan, pada perspektif tertentu memang terlihat lebih terjal dan tak senyaman sebelumnya. Tapi aku yakin janji-Nya bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Juga dalam firman-Nya:
وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (99)
“Dan Yusuf a.s berkata; masuklah kamu ke negeri Mesir insyaAllah kamu akan dalam keadaan aman.” (QS. Yusuf: 99)
Bismillaah... LIFE IS STRUGGLE
Pesawat emirates siap membawa penumpang untuk terbang mengudara. Burung besi raksasa ini terlihat gagah di hadapan anak adam yang akan memenuhi kandungannya. Alhamdulillah syiar Islam tampak dalam penerbangan ini, sebelum memberikan pengarahan, pramugari membacakan doa berkendara yang dituntunkan oleh Nabi Saw. Beserta penumpang lainnya, kami pun bersiap menuju dubai, Uni Emirat Arab. Lho kok dubai? Ya, terlebih dahulu kami transit di dubai. Dubai International Airport namanya, ia menunjukkan keangkuhannya dengan penuh pesona yang serba modern. Di sepanjang lorong bandara, ia benar-benar pamer dengan kemegahannya. Ia menjadi representasi Uni Emirat Arab dewasa ini yang terseret dalam arus modernisasi di segala lini. Penghargaan-penghargaan dengan bangga di pajang dalam bentuk poster yang superbesar. Ia berada di level berbeda jika di bandingkan dengan bandara kebanggaan nusantara. Mulai dari pelayanan, ketertiban, dan infrastruktur yang digunakan.
Kurang lebih tiga jam kami menunggu penerbangan berikutnya. Seperti sebelumnya, pramugari terlebih dahulu membacakan doa. Bersiap kami menatap tempat tujuan, Ardhul anbiyaa’, Mesir. Tepatnya di ibu kotanya, Kairo. Pesawat yang dilengkapi dengan kamera bawah memberikan pengalaman tersendiri bagi penumpang. Kami dapat melihat fenomena alam yang ada di bawah pesawat melalui layar yang ada di depan tiap tempat duduk. Karena perjalanan di siang hari, pemandangan cukup jelas terlihat. Nampak gurun pasir yang berbukit-bukit, bangunan khas timur tengah yang mirip kardus kotak-kotak di berdirikan, bentangan sungai Nil, hingga lautan yang aku menebaknya itu adalah terusan suez ataupun ‘induk’nya, laut merah. Menakjubkan, subhaanallah.
Alhamdulillah pesawat landing dengan mulus. Bumi kinaanah telah menyambut kami melalui gerbangnya yang pertama, Cairo International Airport. Berbeda dengan dubai, CIA lebih terkesan mempertahankan ciri khasnya sebagai representasi negara historis yang kaya akan sejarah peradaban manusia. Ya, bicara mengenai Mesir maka kita akan terkesima dengan perpaduan budaya yang menghiasinya dalam kurun waktu yang sangat lama. Mulai dari peradaban tertua di dunia zaman firaun atau terkenal dengan sebutan pharanoic, lalu persinggahan romawi berpadu yunani yang di kenal dengan helenistic, kemudian coptic, dilanjutkan peradaban Islam dengan ciri khas dinasti yang berkuasa, lalu Mesir modern yang kaya cerita, hingga revolusi penuh nuansa heroisme yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai pemenang pemilu setelah lama menjadi musuh utama rezim penguasa. Ya, ia begitu low profile dan sangat jauh jika dibandingkan dengan Dubai. Walau bagaimanapun aku dan teman-teman menyiratkan kata yang sama “ahlan wa sahlan fi ardhil anbiyaa’.”
Keluar dari bandara kami telah dijemput oleh bus untuk dibawa ke flat yang sudah disiapkan. Selama perjalanan menuju flat, aku lebih banyak diam, teringat keluarga yang ada di nusantara, guru, juga sahabat-sahabatku. Tak kuasa, air mata pun menetes membasahi pipi. Pemandangan sepanjang jalan tak begitu aku perhatikan mengingat waktu itu kepala juga agak terasa pening. Mungkin jetlag akibat perjalanan yang mencapai 8000 km lintas benua juga perubahan waktu dan cuaca. Setiba di flat pun rasa pening masih terasa. Namun semua itu dapat ditahan karena rasa bangga untuk menjejaki perjuangan di belahan bumi yang baru. Segera setelah tiba di flat, kami memasukkan barang-barang yang super banyak untuk kemudian istirahat sejenak. Alhamdulillah dengan izin Allah kami dapat flat di lantai ardliyyah atau dasar, sehingga memudahkan kami untuk tidak repot-repot naik turun tangga. Flat kami terletak di Madiinatu Nasr atau Nasr city yang memang banyak mahasiswa asia tenggara khususnya Indonesia yang memilih daerah ini sebagai tempat tinggal. Tepatnya lagi di Hai ‘aasyir, Bawwabah Tsaany, imarah 61.
Beberapa jam setelah istirahat, kakak-kakak senior menyuruh kumpul sebentar untuk taaruf. Ya, merekalah yang nantinya menjadi keluargaku di negeri kedua ini. Ternyata, kebanyakan dari mereka adalah alumni ma’had Husnul Khatimah Kuningan. Hanya empat orang yang merupakan alumni luar, itu termasuk aku. Dan kebetulan kami berempat di kamar yang sama. Di flat sendiri, terdapat tiga kamar yang cukup luas. Setiap kamar diisi empat orang. Tercatat hanya aku dan seorang lagi yang notabene dari Jawa. Mayoritas dari Sunda, tak ayal bahasa sunda pun menjadi dominan di sini, ya ya ya mungkin keuntungan bagiku untuk belajar bahasa sunda juga, siapa tahu kelak Allah menakdirkanku dengan orang sunda, hahaha. Ketiga teman sekamarku juga dari suku sunda, hanya saja salah satu mereka bukan Sunda asli, tepatnya blesteran minang dan sunda. Hari pertama aku manfaatkan untuk menjalin keakraban dengan mereka, sharing, canda, dan tawa pun mewarnai kebersamaan kami. Hanya saja tak dapat disangkal, kepala ini masih cukup pening dan butuh istirahat lebih.
Azan ashar berkumandang. Dengan ditemani kakak senior, aku dan kawanku pergi ke masjid untuk pertama kalinya setelah menjejakkan kaki di kairo. Masjid terletak cukup dekat dari flat. Jalan kaki tak lebih dari sepuluh menit kami sudah sampai. As salam namanya, cukup besar di tambah satu bangunan lagi yang dari luar menyerupai mushala, namun ternyata ia adalah daurul miyah, tempat wudhu dan toilet. Masjid ini berbentuk segi delapan. Hanya memiliki satu lantai tapi lumayan luas untuk menampung jamaah. Dari papan pengumuman yang terpampang di dinding masjid tertera bahwa masjid tidak menerima sumbangan bahkan infak atau amal. Oleh karena itu disini tidak terdapat kotak amal lazimnya masjid di Indonesia. Masjid inilah yang menjadi tempat bersujud dan mengadu kami kepada Rabb pencipta alam semesta di awal-awal hari kami di kairo. O ya, ada cerita lucu ketika kami menunggu waktu shalat Isya’ setelah menunaikan shalat maghrib. Kepala yang masih pening membuat kami ingin segera istirahat dan tidur di flat selepas shalat Isya’. Setelah azan isya’ dan shalat sunnah qabliyah kami menanti iqamah. Dua puluh menit lebih iqamah tak kunjung dikumandangkan. Kepala yang masih pening membuat kami tidak sabar menanti, akhirnya kami pun berinisiatif membuat jamaah sendiri di pojok masjid. Teman-teman menunjukku untuk menjadi imam. Eh, ternyata ada 3 atau 4 orang Mesir yang ikut jamaah, mungkin ia mengira jamaah masjid sudah selesai. Setelah salam, mereka pun berdiri lagi mengikuti jamaah masjid yang baru di mulai sambil ngomong-ngomong gag jelas. Kami pun cuek saja dan akhirnya memilih pulang beristirahat agar dapat menyesuaikan waktu Kairo esok harinya.
Alhamdulillah, di hari kedua aku relatif bisa menyesuaikan dengan waktu. Agaknya teman-teman masih belum sepenuhnya bisa, banyak dari mereka yang masih melek malam harinya dan baru tidur pagi hari, masih berjiwa Indonesia. Hanya saja kendala cuaca yang bagiku masih banyak perlu penyesuaian, walau hari-hari ini cuaca Mesir masih dalam tahap peralihan sehingga tidak terlalu ekstrim dan relatif sama dengan Jakarta, namun ketahanan tubuhku yang memang kurang baik berakibat pada bibir yang super kering. Lebih parah dari yang ku alami kala di Ciputat. Tapi akhirnya masalah ini dapat teratasi setelah disarankan kakak senior untuk membeli lip mousturizer, berbentuk seperti lipstik yang berharga cukup murah, hanya tiga pounds setengah atau kurang lebih lima ribu rupiah. Di sini aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkan makanan. Apalagi setelah tahu teman-teman serumah pada jago masak, yah... lagi-lagi aku beruntung bisa belajar masak dari mereka. Pernah suatu ketika, teman-teman pada keluar, aku izin tidak ikut karena suatu alasan. Selepas Isya’ mereka tak kunjung datang. Karena perut ini sudah bernyanyi, aku berinisiatif masak untukku pribadi, juga sekalian untuk teman-teman. Karena bingung, aku mencari yang mudah saja, telur plus bumbu pecel. Tatkala masak telur aku salah memasukkan gula yang ku kira garam. Akhirnya jadilah telur gula manis. Karena yang masak, aku terima saja apa adanya. Tak berapa lama teman-teman datang. Melihat ada telur di meja dapur, mereka langsung menyantapnya tanpa menghiraukan rasa. Dalam hati aku berkata, “alhamdulillah ternyata masakanku laku juga” hahaha. Makanan khas Mesir juga tak ekstrim amat rasanya. Hanya saja memang agak asing di lidah, contohnya tha’miyah bil beydl, eisy, fuul, dan lain sebagainya. Untuk bahasa, memang bagiku pribadi masih sulit mencerna. Walau begitu aku beranikan diri untuk bercakap-cakap dengan orang pribumi, kadang waktu beli sesuatu, kadang di bus, atau di masjid. Kalau sudah bener-bener tidak nyambung, ya langsung saja aku katakan, “ musy faahim yaa rayyis, ana gadiid hina.”
Hari kedua di Mesir merupakan jumat pertama bagiku dan kawan-kawanku. Pada shalat jumat pertama ini yang bertindak sebagai imam dan khatib adalah DR. Omar bin Abdul Aziz. Karena memakai bahasa fusha, aku cukup mampu memahami isi khutbah. Khutbahnya berisi tanggapan beliau seputar isu internasional yang tengah marak dan menjadi pusat perhatian dunia. Ya, tentang film penghinaan terhadap Nabi Saw “innocence of Moslem.” Dari khutbahnya, tampak beliau benar-benar geram terhadap apa yang terjadi di barat dan Amerika. Dengan dalih kebebasan berekspresi mereka telah menginjak-nginjak harga diri umat Islam. Belum sembuh luka umat Islam dari gambar-gambar karikatur Nabi Saw, kini telah kembali di serang dengan film yang sangat mendiskreditkan sang musthafa. Ya, mesir merupakan salah satu negara yang melancarkan protes sangat keras atas film ini hingga mengundang perhatian media internasional setelah Libya yang menelan korban tewasnya dubes AS. Pada hari sabtu ba’da dzuhur, ceramah pun masih seputar tanggapan atas film itu. Namun kali ini dengan Syaikh yang berbeda. Aku lupa namanya, namun perawakannya mengingatkanku pada Syaikh Ahmad Yasin, pemimpin kharismatik Hamas Palestina yang syahid- insyaAllah- dibom apache zionis Israel. Sama-sama buta dan lumpuh, bedanya hanya suaranya yang masih menggelegar seperti singa, sementara Syekh Ahmad Yasin suaranya pelan dan berat. Inilah kosekuensi yang harus diambil oleh sang penghina Nabi Saw, maka jangan harap umat islam akan diam dan pasrah. Dalam bukunya Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam satu bab mengenai hal ini dengan judul sangar “pedang terhunus untuk penghujat Nabi Saw.”
Pada sore hari jumat, setiap kamar dihimbau untuk memilih perwakilan yang akan berbelanja keperluan rumah dan kamar. Teman-teman kamar menyuruhku untuk pergi sebagai wakil. Dengan mobil sewaan kami pun menjelajahi kairo untuk mendapatkan barang yang sudah terdata. Alhamdulillah aku dapat menikmati kairo di malam hari dan mengamati pemandangan di sepanjang jalan. Kairo, ia tak seperti yang terbayangkan sebelumnya. Ia layaknya kota mati selepas perang. Untuk orang Indonesia, hendaknya ia perlu bersyukur, jika tidak maka kiranya ia perlu datang ke Kairo. Jalanan yang bergelombang tidak rata, batu-batu yang berserakan, puing-puing yang tercecer di jalanan, dan jarangnya traffict light. Waktu itu kami terjebak macet di pertigaan jalan raya. Tak ada mabahits yang mengatur, tak ada traffict light, akhirnya pengatur lalu lintas dadakan pun tampil. Beberapa dari pengendara keluar dari mobil untuk mengatur lalu lintas dengan sukarela. Sungguh kejadian yang belum pernah ku lihat di Jakarta.
Kami berbelanja di carefour city centre. Sangat ramai. Disinilah aku melihat orang-orang Mesir mulai dari yang tua, hingga anak-anak kecil. Disini pula aku menyaksikan perempuan-perempuan Mesir yang katanya mewarisi kecantikan Cleopatra dan Nefertiti. Memang, mereka rata-rata memberikanku kesimpulan sama. Hidungnya mancung dan rupawan. Bisa jadi benar apa yang dikatakan salah sorang guruku bahwa jelekanya wanita Mesir ketika di Indonesia ia akan jadi artis. Juga apa yang diceritakan novelis Habiburrahman El shirazy dalam noveletnya “pudarnya pesona Cleopatra.” Astaghfirullah, allahumma innii a’uudzu bika min fitnatin nisaa’.
Pesona itu akhirnya ku dapati juga. Karena tidak sabar untuk segera pergi ke kampus, saya dan seorang kawan nekat pergi ke kampus tanpa ditemani senior. Alhamdulillah di perjalanan kami berjumpa dengan mahasiswa S2 dari Indonesia. Kami berkenalan, dan akhirnya beliaulah yang mengantar dan menemani kami menuju Al azhar dan sekitarnya. Sebelum tiba di Al Azhar kami turun lebih dahulu di Halte Hai saabi’ dekat kulliyyatul banaat. Ada kejadian memilukan waktu itu. Seorang sopir angkot membuka pintu mobil, tapi dari belakang taksi melaju hingga tabrakan tak terelakkan. Seketika itu pintu mobil rusak. Adu mulut pun tak tertahankan. Aku berpikir kalau seandainya itu terjadi di Indonesia, pasti bukan hanya adu mulut yang terjadi, melainkan juga adu bogem.
Pesona keilmuan di Al-Azhar benar-benar menarik perhatianku. Ia terletak di wilayah darraasah. Kami berjalan-jalan di sekitar kampus, di masjid Al-Azhar, dan masjid Husein yang di dalamnya terdapat makam yang katanya adalah kepala Husein. Kata kenalan kami di masjid ini banyak orang syiah. Di masjid Al-azhar Asy-syarif sendiri banyak halaqah yang diisi oleh para masyayikh. Itu diselenggarakan setiap hari, dari pagi hari sampai larut malam. Yang dibahas pun bermacam-macam berkaitan dengan ilmu syar’i dan bahasa arab. tergantung tempatnya di setiap bilik. Ada yang di bilik atraak jam sekian membahas tentang nahwu sharf, di bilik maghaaribah jam yang sama membahas ushul fiqh, juga bilik lain yang membahas variasi disiplin ilmu. Subhaanallah, diri ini benar-benar tidak sabar untuk segera masuk kuliah dan mengikuti muhadharah serta halaqah para masyayikh Al azhar.
Ya, walau bagaimanapun aku kini telah menjejakkan kaki di bumi para Nabi. Tujuanku disini bukanlah untuk mencari apresiasi, menarik simpati, alih-alih gengsi. Namun tiada lain adalah untuk menuntut dan menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menjadi bermanfaat bagi umat kelak, khususnya bagi keluargaku. Orientasi niat perlu dijaga agar tidak melenceng dari misi utama. Mesir, khusunya Kairo harus ditaklukan, karena kalau tidak ia akan menaklukanmu. “Al qaahirah in lam tuqahhirhaa qahharatka,” begitu kata pepatah pribumi. Tidak hanya air mata yang melepasku, namun peluh keringat perjuangan orang tua juga telah menjadi bekalku. Perjuangan di depan, pada perspektif tertentu memang terlihat lebih terjal dan tak senyaman sebelumnya. Tapi aku yakin janji-Nya bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Juga dalam firman-Nya:
وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (99)
“Dan Yusuf a.s berkata; masuklah kamu ke negeri Mesir insyaAllah kamu akan dalam keadaan aman.” (QS. Yusuf: 99)
Bismillaah... LIFE IS STRUGGLE
Teori Konflik
-->
Konflik
berasal dari kata kerja latin “configure” yang berarti “saling
memukul” secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social
antara dua orang atau lebih (bias juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. “Tidak Satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antara anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lain, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.” (Max Weber)
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya menyangkut cirri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawa-sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi social, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol
akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna sangat
mungkin menciptakan konflik.
A. DEFINISI KONFLIK
1. Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut
sebagai “The Conflict Paradoks”, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik
dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
a.
Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan,
dan harus dihindari.
b.
Pangangan hubungan manusia (The Human Relation View).
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi.
c. Pandangan interaksionis (The Human
Relation View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau
organisasi terjadinya konflik.
2. Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian,
yaitu pandangan tradisional (Old
view) dan pandangan modern (Current View):
a.
Pandangan tradisional. Pandangan tradisioanal menganggap bahwa
konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi
dan mencegah pencapaian yang optimal.
b.
Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan
banyak factor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi,
nilai-nilai, dan sebagainya.
3. Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan
Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1.
Dalam pandangan tradisoanal, konflik dianggap sebagai suatu yang
buruk dan harus dihindari. Pandagan ini sangat menghindari adanya konflikkarena
dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi.
2.
Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan
bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi
logis interaksi manusia.
4. Menurut Penelitian Lain
a.
Konflik terjadi karena interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini
dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui
kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi
tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, jika
komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses
itu, pasti ada konflik (1982: 2434). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara
nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerakan badan, yang mengekspresikan
pertentangan (Stewart & Logan, 1993:
341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku
hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan
sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak
karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amrah.
b.
Konflik tidak selamanya berkonotasi
buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:
342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam
memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa
dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah dibalik adanya
perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara
menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan
datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu
terjadi kembali.
B. TEORI-TEORI KONFLIK
Ada
tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu social sampai saat ini, yaitu :
1. Teori Konflik C. Gertz,
tentang primodialisme,
2. Teori Konflik Karl. Marx, tentang pertentangan kelas, dan
3. Teori Konflik James Scott, tentang patron klien.
1. Teori Konflik Clifford Gertz Tentang
Primodialisme
Primodialisme
adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Banyak lapisan masyarakat sampai
sekarangpun hidup dengan semangat primodialisme yang kental baik secara pribadi
maupun secara berkelompok.
Ciri masyarakat primodialisme
menurut Gertz umumnya adalah mengutamakan kelompok, suku, agama, budaya dan
segalanya masih sangat diwarnai dengan ketertutupan, fanatisme, egoisme dan
cenderung mencari amannya sendiri. Konflik Primodial sering terjadi sikap tertutup dan fanatisme ini.
2. Teori Konflik Karl Marx tentang Pertentangan
Kelas
Teori
ini terutama didasarkan pada pemikiran Karl Marx yang melihat,
masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok atau
kelas social. Dalam pandangan teori ini, konflik masyarakat dikuasaii oleh
sebagian kelompok atau individu yang mempunyai kekuasaan dominan. Selain Marx
dan Hegel, tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser.
Dengan demikian maka tampaklah bahwa
ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.
Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin
bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa
menurut Marx, kepentingan kelas obyektif dibagi atas adanya kepentingan
manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem social yang harus
dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok
semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.
3. Teori Konflik James Scott, tentang Patron-Klien
Scoot
menyebutkan ada tiga factor yang menjadi penyebab tumbuh berkembangnya konflik
relasi patron-klien (patronase) dalam suatu komunitas, yaitu:
Ketimpangan ekonomi yang kuat dalam penguasaan
kekayaan yang banyak diterima sebagai sesuatu yang sah, ketiadaan jaminan fisik
dan ketidaksetaraan status dan kedudukan yang kuat dan bersifat personal serta
ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai wahana yang efektif bagi keamanan
dan pengembangan diri. Klien yang umumnya inferior cenderung dijadikan alat
memperkuat kekuasaan, status, dan kekayaan saja bagi patron (Scott,
1977:132). Konflik patron- klien lebih banyak terjadi karena relasi berat
sebelah- tidak setara baik secara ekonomi, social, politik, atau budaya.
Asimilasi dan Akulturasi
Ada dua proses
penggabungan kebudayaan, yang pertama jalur asimilasi. Asimilasi adalah
penggabungan dua kebudayaan yang mana budaya yang pertama dihancurkan oleh
budaya yang kedua. Budaya lama yang ada di sebuah Negara dihancurkan oleh
budaya asing yang baru masuk ke dalam Negara tersebut. Contohnya ketika Islam
datang ke Negara Spanyol, budaya yang ada di Negara tersebut dihilangkan oleh
Budaya Islam yang datang dipimpin oleh Thariq Ibn Ziyad, hingga selat yang
dilewati oleh Thariq Ibn Ziyad dinamakan Selat Gibraltar. Yang kedua jalur
Akulturasi, jalur ini adalah penggabungan dua kebudayaan yang mana Kebudayaan
yang lama dilebur dan digabungkan dengan kebudayaan baru yang masuk kedalam
Negara tersebut. Contohnya adalah masuknya Islam ke Negara Indonesia.
Budaya yang ada
di Indonesia ketika itu adalah Budaya Hindu dan Budha, istilah orang jawa
ketika itu adalah kejawen. Wali Songo ketika menyebarkan agama Islam tidak
serta merta menghancurkan kebudayaan tersebut, akan tetapi meleburkan
Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Hindu-Budha. Jalur ini menarik perhatian
sebagian masyarakat Indonesia ketika itu, karena hegemoni masyarakat Indonesia
ketika itu belum berani untuk menerima kebudayaan asing. Cerdiknya para wali
songo ketika itu memakai teori Akulturasi, sangat mungkin di zaman itu Ilmu
Sosiologi belum dikenal atau bahkan mungkin belum lahir, akan tetapi hebat dan
pintarnya wali songo sudah dapat memahami strategi dakwah dengan mengenal
antropologi dan sosiologi masyarakat Indonesia ketika itu. Akulturasi tidak
menghancurkan budaya jawa yang sudah bercampur-baur dengan adat hindu dan
budha.
Akulturasi
mencoba menghilangkan budaya hindu-budha dengan jalan yang halus, masyarakat
ketika itu tidak sadar bahwa budaya jawa yang tercampur hindu-budha akan hilang
dengan sendirinya. Ibarat sebuah gelas yang berisi air kopi, Wali Songo tidak
menghancurkan gelasnya, akan tetapi air kopinya dibuang dan gelas itu diganti
oleh air putih. Gelas itu adalah budaya jawa, air kopinya adalah budaya
hindu-budha, dan air putihnya adalah budaya Islam. Andai ketika itu Wali Songo
memakai jalur Asimilasi, mungkin Islam di Indonesia tidak sebesar sekarang.
Melihat Islam yang pernah besar di Spanyol dan beberapa Negara di Eropa, kini
sudah tidak seperti dahulu. Karena Islam masuk ke Negara-negara Eropa melauli jalur
invasi, jalur perang, jalur Asimilasi. Pembunuhan kebudayaan Kristen yang ada
ketika itu dihancurkan oleh budaya Islam, hingga ketika Kerajaan Islam mulai
melemah masyarakat Eropa yang masih memegang teguh kebudayaan Kristen ketika
itu mulai menyerang kerajaan-kerajaan Islam. Dan akhirnya Islam hancur di
Negara tersebut.
Karena memang
sosiologi masyarakat di setiap Negara hampir sama, sulit untuk menerima sesuatu
yang baru. Oleh karena itu, akulturasi adalah jalan yang baik untuk
mendakwahkan Islam kepada masyarakat yang belum mengenal agama Islam secara kaffah.
Karena dengan menggabungkan dua kebudayaan, masyarakat pun tidak merasa
kehilangan budaya yang sudah mendarah daging dan merasa senang karena mendapat
“sesuatu” yang baru. Sebagai contoh masyarakat Jawa suka mengadakan
kumpul-kumpul di rumah keluarga yang sedang mendapatkan musibah seperti
meninggal dunia, akan tetapi mereka menghabiskan waktu malam dengan minum-minum
minuman keras dan bermain judi, Wali Songo tidak membuang budaya tersebut. Budaya
kumpul-kumpulnya masih tetap ada, gelasnya tidak dihancurkan, air kopinya dibuang,
ada penghancuran kebudayaan hindu-budha ketika itu, dan diganti dengan budaya
Islam seperti mengaji Al-Qur’an 30 Juz atau mengadakan Tahlilan didalamnya
menbaca takbir, tahmid, beberapa ayat Qur’an dan doa untuk si mayit yang dengan
harapan si Mayit mendapatkan maghfirah dari Allah SWT, mulai memasukkan
air putih kedalam gelas tersebut.
Akulturasi
terbukti ampuh digunakan untuk menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat luas,
karena memang dengan penghancuran budaya lama maka memunculkan dendam dari
masyarakat yang budayanya dihancurkan oleh budaya yang baru. Mereka sulit
beradaptasi dengan budaya yang baru, hingga akhirnya mereka menganggap budaya
baru sebagai komoditas asing dan menakutkan yang tidak harus diikiuti atau
dihancurkan sama sekali, namun karena masyarakat yang menganut budaya lama
dikalahkan oleh pendatang yang membawa budaya baru sehingga mau tidak mau, atau
lebih tepatnya ada pemaksaan yang membuat masyarakat budaya lama mengambil
budaya baru sebagai budaya yang harus diikuti, dan lagi-lagi tidak semua
masyarakat mengikuti budaya tersebut dengan “ikhlas”, beberapa golongan
masyarakat, biasanya berisi orang-orang yang dituakan melakukan gerakan oposisi
terhadap pendatang yang membawa budaya baru. Dan kalau para pendatang itu tidak
siap menangani para oposisi, mereka akan kalah dan budaya yang mereka bawa akan
dihancurkan dan selamanya akan dianggap budaya yang salah dan budaya yang harus
dilenyapkan dari muka bumi. Bagaimana caranya mereka akan bercerita tentang
keburukan budaya baru bahkan membuat cerita-cerita dengan versi memojokkan
budaya baru yang telah mereka hancurkan. Ini terjadi di wilayah Spanyol dan
beberapa Negara di Eropa, ketika Islam datang dengan jalur invasi atau
asimilasi.
Itulah mengapa
Wali Songo mendakwahkan agama Islam dengan jalur akulturasi, dan terbukti ampuh
hingga saat ini Islam besar di Negara Indonesia, bahkan Indonesia menjadi
Negara yang masyarakat Islamnya paling banyak. Dengan jalur akulturasi,
masyarakat di zaman itu merasa secara tidak langsung masuk ke dalam budaya
Islam. Contoh lainnya adalah dakwah Sunan Kalijaga yang membawa wayang dan
gending ke dalam dakwahnya, masyarakat Jawa ketika itu menonton Wayang dengan
cerita-cerita Mahabrata ataupun Karmapala sambil meminum-minuman keras. Tapi
Sunan Kalijaga tampil dengan membawa cerita-cerita Islam atau cerita pewayangan
jawa yang menceritakan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dengan metode
inilah akhirnya hampir seluruh masyarakat Jawa masuk ke dalam Agama Islam.
Lagi-lagi Akulturasi lebih efektif dan efesien dalam mendakwahkan Agama Islam. Wallahu
A’lam
Dian Ajis Syah
Putra
Langganan:
Postingan (Atom)