Si kambing itu terlihat tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Kebun luas yang penuh rerumputan hijau dirasa belum cukup baginya. Pasalnya ia melihat kebun di samping begitu mempesona, sangat memikat, dan sepertinya bgitu nikmat. Ia gelisah dan susah. Setiap kali melihat melalui lubang dinding yang menjadi batasan, bertambahlah kegelisahannya. Ia murung dan berpikir untuk bisa berpindah ke kebun sebelah. Dan suatu ketika keinginan itu memuncak, bulatlah tekad si kambing untuk keluar dari kebun lamanya yang ia anggap ketinggalan zaman. “Tapi gimana ya?”, tanyanya pada diri. “aha”, muncullah ide itu setelah melihat batu tersandar pada dinding yang ia pikir cukup untuk dijadikan pijakan agar bisa berpindah. Dimulailah misi itu, dengat semangat ’45 ditambah dengan ancang-ancang yang matang, berlarilah kambing. Hap... hap... , dengan tangkas ia meloncati dinding pembatas. Sesampainya di kebun idaman, tanpa pikir panjang ia makan dengan lahapnya rerumputan yang hijau nan memikat itu. “Nyam... nyam...”, begitu nikmat. “Nyam... nyam...”, terasa lezat. Tiba-tiba disatu titik, “GUBRAKKK”, lemaslah tubuh si kambing dan kini iapun terlihat tak berdaya. Setelah ditelisik ternyata kebun idaman itu berisi rumput artifisial. Hahaha... malang benar nasib si kambing.
Cerita yang terinspirasi dari salah satu iklan televisi ini cukup menarik untuk kita jadikan pelajaran. Pelajaran yang tentunya menghasilkan kemanfaatan pada pribadi kita. Pribadi yang masih tumpul dan terus berproses untuk menjadi tajam dengan kedewasaan. Dewasa dalam bersikap, dewasa dalam memecahkan persoalan, juga dewasa dalam membaca keadaan.
Kembali ke lanjutan iklan tersebut. Sebagai penutup, kambing itu seolah berwasiat setelah kematiannya dengan jargon, “ rumput tetengga tak selalu lebih hijau seperti yang anda kira”, kurang lebih seperti itu. Sebuah adagium yang menarik dan patut kita renungi juga cermati.
Seringkali kita terjebak dalam hal-hal yang merugikan diri kita sendiri. Contoh, sebenarnya kita sangat tahu dan faham dengan gamblang dalam teori bahwa kata-kata ini terkelompokkan dalam kata yang berkonotasi negatif. Sebut saja pesimis, rendah diri, putus asa, malas, iri, dengki, dan kawan-kawannya. Namun karena ketidakpekaan hati kita dalam mengenali mereka itulah yang menjadikan mereka nyaman mengambil tempat dalam hati kita. Penyebabnyapun pada akhirnya akan berafiliasi pada sekuat apakah keimanan yang kita miliki. Sekokoh batu karangkah?, segagah gunungkah?, atau “kriuk” seperti kerupuk?.
Lho, lalu apa hubungannya keimanan dengan kambing itu?. Ya,ya,ya,... teman kita yang berwujud kambing itu telah melupakan salah satu buah keimanan yaitu syukur. Mengenai kata ini, khalifah gagah kita yang berjuluk Sang Pembeda umar bin khatthab r.a mengatakan, “jikalau seandainya syukur dan sabar adalah dua kendaraan , maka saya tidak peduli dengan apa berkendara”. Subhanallah, buah keimanan sejati dari hasil tarbiyah rabbani.
Ya, betapa penting rasa syukur itu untuk kita aplikasikan dalam kehidupan. Rasa syukur terhadap nikmat yang telah Allah Swt berikan. Tentu kita yakin Allah maha adil dalam memberikan karunia-Nya. Dan Iapun maha penyayang dan pengasih terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, betapa dzalimnya kita ketika menggugat bahwa kita berada dalam posisi yang tidak semestinya ditempati dengan sejuta gugatan yang terungkapkan sehingga keistimewaanpun seolah lenyap, terhijab, bahkan tak berbekas. Lantas membandingkan dengan tetangga sebelah yang kelihatannya lebih tenteram, adem, dan tanpa masalah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan ini penuh masalah. Dan masalah itu adalah keniscayaan. Terkadang ia bermuka manis, di waktu lain ia berwajah masam nan menyeramkan. Kadang ia merontokkan jiwa, namun disisi lain ia pun mengokohkannya. Sehingga dapat kita simpulkan, dimanapun kita berada, dimanapun kaki berpijak, selama kita masih dalam skenario dunia, masalah pasti mengiringi. Dengan kata lain selama kita masih hidup, masalah pasti menghantui.
Mungkin kita berpikir tempat lain begitu indah untuk didiami dan berangan-angan untuk berada di dalamnya tanpa menimbang dengan cermat. Menimbang pun belum cukup tanpa memperhatikan apa timbangan yang kita pakai. Merk apakah timbangan kita? Sudah karatankah? Cocokkah dengan objek yang kita timbang?. Nah apabila keduanya sudah klop satu sama lain, baru kita menentukan sikap. Hijrah atau menetap untuk merubah. Keduanya memiliki keistimewaan. Keduanya pula telah dicontohkan Nabi Saw dan generasi salaf. Hijrah dengan mengharap tempat berpijak selanjutnya lebih mendukung dalam mengembangkan potensi dan mengamalkan ideologi. Atau pilihan kedua yang berani melawan arus melalui jiwa ksatria yang berteriak, “bukan aku yang tunduk pada lingkungan, tapi lingkunganlah yang harus bertekuk lutut di hadapanku”. Subhanallah, Allahuakbar.
Add caption |
Pada akhirnya syukur itu harus berangkat dari titik keridhaan. Tidak ada alasan bagi kita untuk iri dalam hal sebaliknya yang dimiliki tetangga. Oleh karena itu Tak ada salahnya kita menerima wasiat seekor kambing tadi, “ rumput tetangga tak selalu lebih hijau seperti yang anda kira.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar