Menarik membaca tulisan Ririn Handayani yang berjudul
“Mengembalikan Citra Positif Pesantren” di harian ini, Jum’at (29/6)
lalu. Ririn mengatakan bahwa akhir-akhir ini pesantren mendapat stigma
negatif sebagai sarang teroris. Menurutnya, ada dua faktor utama yang
melatarbelakangi stigmatisasi negatif terhadap pesantren itu. Pertama,
adanya oknum-oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teroris.
Kedua, interpretasi yang salah oleh sebagian orang terhadap konsep jihad
dalam Islam.
Argumen Ririn di atas tentu sangat
beralasan. Sebab, sejak terungkapnya para pelaku pengeboman Bali yang
dilakukan oleh para alumni pesantren, sontak persepsi masyarakat
terhadap pesantren menjadi berubah. Tudingan pesantren sebagai “sarang
teroris” pun merebak. Yang teranyar adalah ledakan bom dan penemuan
sejumlah senjata di sebuah “kamp militer” Umar bin Khattab, Bima, Nusa
Tenggara Barat (NTB). Tragedi ini menyedihkan mengingat “kamp” tersebut
menyebut diri sebagai pondok pesantren, bahkan membawa nama sahabat Umar
bin Khattab.
Hal itu ditambah dengan pemahaman agama yang
cenderung tekstual. Sebagai contoh, pemaknaan terhadap konsep jihad,
misalnya, hingga kini masih dipahami secara literal sebagai perjuangan
“turun jalan” dengan membawa senjata seperti peperangan di masa Nabi.
Padahal, Nabi sendiri menyebut perang Badar yang memanggul senjata itu
sebagai jihad asghar (jihad kecil). Jihad terbesar adalah melawan hawa
nafsu.
Ini menandakan bahwa kita masih terlampau tertutupi
oleh selimut fikih secara rapat. Kita masih gagal menangkap pesan
substansialnya sebuah agama atau maqasid al-syari"ah (tujuan dari
syariat) dari diturunkannya agama itu sendiri. Inilah-yang pelan-pelan
tapi pasti-jika tidak segera diatasi akan membuat stigma pesantren
menjadi buruk.
Sejarah Pesantren
Dalam
sejarahnya, pesantren hadir tak lepas dari keterpanggilannya menegakkan
Islam yang ramah dan toleran terhadap kemajemukan dan budaya Nusantara.
Pesantren didirikan oleh para kiai Nahdlatul Ulama (NU). Indonesia
sendiri bisa tegak berdiri tak luput dari peran dan jasa pesantren. Kiai
dan santri sebagai “penjaga gawang” sah pesantren tak bosan-bosannya
memperjuangkan negeri ini dari genggaman penjajah. Pesantren yang
mengajarkan pendidikan moral dan adiluhung itu telah ikut serta dalam
mengawal perjalanan bangsa ini, dari pra kemerdekaan, hingga sekarang.
Memang,
pendidikan pesantren identik dengan pendidikan tradisional. Tapi justru
dalam pendidikan tradisional itulah pesantren menyimpan nilai-nilai
yang sangat penting untuk dimiliki bangsa ini. Sebab, ajaran yang
tertera dalam pendidikan pesantren senafas dengan nilai-nilai
kebangsaan. Justru yang membahayakan pesantren sekarang adalah ihwal
polarisasi. Kini pesantren mengalami polarisasi yang cukup masif. Martin
Van Bruinessen (1995) menyebut pesantren sebagai institusi keagamaan
yang mengalami polarisasi ke dalam pola tradisional, modernis, reformis,
dan fundamentalis. Di sinilah pesantren sudah bukan lagi menjadi
karakter khas kelompok tradisional yang selama ini dikembangkan para
kiai nahdliyin, tapi sudah memiliki aliran (Islam) masing-masing
disesuaikan dengan ideologi pendirinya.
Dalam
perkembangannya, polarisasi pesantren ini ibarat pedang bermata dua. Di
satu sisi, eksistensi dan perkembangan pesantren semakin terlihat karena
banyaknya pesantren yang berdiri, meskipun berbeda-beda varian
ideologinya. Namun di sisi lain, kehadiran pesantren-pesantren baru
tersebut acap kali menjadi bumerang bagi posisi pesantren yang
sesungguhnya (tradisional-nahdliyin). Karena tidak ada aturan yang jelas
mengenai pendirian pesantren seperti halnya mendirikan sekolahan, maka
pesantren pun bermunculan bak cendawan di musim hujan, dan bahkan banyak
yang melenceng dari visi kebangsaan.
Sekarang ini banyak
pesantren versi Timur Tengah yang secara ruh dan ajarannya sudah jauh
dari visi besar bagaimana pesantren itu didirikan. Pesantren seperti ini
berwatak radikal dan ingin melakukan puritanisasi Islam. Paham mereka
Wahabisme yang secara literal hadir ke Nusantara tanpa melalui transmisi
budaya. Dalam perkembangannya, jaringan ini meluas tidak hanya
berpatokan pada madzab Wahabisme, tapi juga mengambil ideologi radikal
sejumlah intelektual, seperti Al-Maududi, Hasan Al-Banna, Hasan Turabi,
Sayyid Qurb, dan sebagainya. Misinya, ideologi radikal yang bercambah di
Timur Tengah itu hendak dipraktikkan di Tanah Air.
Ideologi
radikal itu kemudian dibumbui pengajaran agama yang eksklusif dan
dogmatis. Istilah Zionis-Kafir menjelma menjadi perjuangan mereka.
Sehingga, aksi kekerasan apapun sah dilakukan untuk menghancurkan
Zionis-Kafir, yang mereka sebut-sebut sebagai musuh Islam. Mereka juga
menyebut aksi yang dilakukan dengan jihad.
Tentu saja,
pengajaran seperti itu sudah tidak murni sebagai kesadaran otentik
masyarakat Islam Nusantara, bahkan bisa dibilang seperti sesuatu yang
aneh dan baru belakangan muncul. Sebab, posisi pesantren sebagai
institusi keagamaan tidak didirikan untuk melahirkan radikalisme.
Pesantren mengajarkan semua hal yang ada dalam agama; dari tauhid,
syariat, hingga akhlak. Pendidikan pesantren diproyeksikan untuk
menghasilkan out put (lulusan) yang berpengetahuan luas dan mampu
melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat secara kontekstual dan
santun, mengindahkan budaya setempat (Nusantara).
Moderat
Nurcholis Madjid dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren
(1997) pernah mengatakan bahwa pesantren mengandung makna keislaman
sekaligus keaslian Nusantara. Sebab, kata “santri” sendiri berasal dari
istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa
Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun
pergi. Dari sini dapat disimpulkan, pesantren itu prodak asli Nusantara,
karena itu ia harus menyatu dengan budaya-budaya nusantara, bukan
budaya Timur Tengah.
Apalagi pesantren sendiri adalah
bagian dari kontribusi NU di bidang pendidikan. Secara geneologis, arah
pendidikan pesantren sangat mirip dengan prinsip-prinsip dasar
kebangsaan NU, yakni keseimbangan antara ukhuwah Islamiah (persaudaraan
sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).
Fakta
menunjukkan, tokoh-tokoh pesantren generasi awal seperti KH Hasyim
Asy’ari, KH Ahmad Siddiq, KH Sahal Mahfudz adalah orang-orang yang tidak
pernah memakai jalan radikal dalam melancarkan dakwah Islamnya. Para
kiai ini justru menunjukkan wajah Islam yang ramah, akomodatif terhadap
perubahan zaman, sehingga menunculkan karakter yang toleran dan damai.
Sebagai
bagian dari perjuangan NU, watak pendidikan pesantren pun senafas
dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan
antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih “jalan damai”.
Karena itu, dalam ranah ideologis atau madzhab, pendidikan pesantren
lebih condong kepada Imam Syafi’i yang menjadi panutan mayoritas Muslim
Indonesia: “Pendapatku adalah benar yang mengandung kemungkinan salah.
Sedangkan pendapat pihak lain adalah salah yang mengandung kemungkinan
benar.”
Sebab, sikap terbaik dalam segala hal adalah moderat (khair al-umûr awsâthuhâ).
Demikian prinsip yang dikenal luas di kalangan pesantren. Moderat
adalah bentuk dari keniscayaan toleransi sebagai ajaran paling mendasar
dalam Islam. Tentu saja, prinsip ini tidak hanya berlaku dalam konteks
pendidikan pesantren, melainkan telah menjadi semangat utama di balik
hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar