Air mata itupun mengalir. Dari pelupuk mata orang-orang yang begitu
berjasa dalam hidupku. Ibuku, dalam pelukan hangat dan linang haru ia
membisikkan beberapa kalimat kepadaku, anaknya. Bapak, seperti biasa ia
lebih memilih diam dalam keramaian, namun dalam diamnya ia menyiratkan
harapan besar kepada anaknya, itu aku ketahui beberapa jam sebelum
keberangkatan ke bandara setelah bercakap empat mata dengannya. Ya,
bagiku ia seorang nelayan yang jujur dalam pengabdiannya sebagai kepala
keluarga, ia mampu menyekolahkan enam putra-putrinya agar lebih tinggi
darinya yang hanya lulus sekolah dasar. Kakak-kakakku, adik-adikku,
juga keluarga yang senantiasa memberikan semangat untukku agar selalu
tegap dalam langkah dan berjuang tanpa lelah. Tak lupa juga mereka,
orang-orang yang tidak ada hubungan darah denganku namun begitu gigih
mengumandangkan arti perjuangan dan pengorbanan dalam hidup. Mereka
adalah guru-guruku, sahabat-sahabatku, juga kawan-kawanku yang
memberikan pemahaman akan kasih sayang, kepedulian, kelembutan,
ketegasan, kesetiaan, kesabaran, keberanian, dan lain sebagainya hingga
menjadikan hidup ini penuh dengan hikmah baik yang tersirat maupun
tersurat. Subhaanallah inilah rahasia kehidupan yang senantiasa
memperlhatkan warnanya yang beraneka ragam. Tak ayal, matapun tak
sanggup membendung air yang ingin keluar untuk bisa menikmati suasana
yang mengharu biru ini. Ya, sisi cengengku akhirnya nampak dan tak dapat
ku tahan di depan mereka, orang-orang yang penuh arti bagiku. Dan
bandara soekarno-hatta menjadi pijakan awal yang lantas memisahkanku
dengan mereka untuk menuju the next struggle. Ya, the next
struggle, karena telah ku tulis bahwa “LIFE IS STRUGGLE.”
Pesawat emirates siap membawa penumpang untuk terbang mengudara.
Burung besi raksasa ini terlihat gagah di hadapan anak adam yang akan
memenuhi kandungannya. Alhamdulillah syiar Islam tampak dalam
penerbangan ini, sebelum memberikan pengarahan, pramugari membacakan
doa berkendara yang dituntunkan oleh Nabi Saw. Beserta penumpang
lainnya, kami pun bersiap menuju dubai, Uni Emirat Arab. Lho kok dubai?
Ya, terlebih dahulu kami transit di dubai. Dubai International Airport
namanya, ia menunjukkan keangkuhannya dengan penuh pesona yang serba
modern. Di sepanjang lorong bandara, ia benar-benar pamer dengan
kemegahannya. Ia menjadi representasi Uni Emirat Arab dewasa ini yang
terseret dalam arus modernisasi di segala lini. Penghargaan-penghargaan
dengan bangga di pajang dalam bentuk poster yang superbesar. Ia berada
di level berbeda jika di bandingkan dengan bandara kebanggaan
nusantara. Mulai dari pelayanan, ketertiban, dan infrastruktur yang
digunakan.
Kurang lebih tiga jam kami menunggu penerbangan berikutnya. Seperti
sebelumnya, pramugari terlebih dahulu membacakan doa. Bersiap kami
menatap tempat tujuan, Ardhul anbiyaa’, Mesir. Tepatnya di ibu
kotanya, Kairo. Pesawat yang dilengkapi dengan kamera bawah memberikan
pengalaman tersendiri bagi penumpang. Kami dapat melihat fenomena
alam yang ada di bawah pesawat melalui layar yang ada di depan tiap
tempat duduk. Karena perjalanan di siang hari, pemandangan cukup jelas
terlihat. Nampak gurun pasir yang berbukit-bukit, bangunan khas timur
tengah yang mirip kardus kotak-kotak di berdirikan, bentangan sungai
Nil, hingga lautan yang aku menebaknya itu adalah terusan suez ataupun
‘induk’nya, laut merah. Menakjubkan, subhaanallah.
Alhamdulillah pesawat landing dengan mulus. Bumi kinaanah
telah menyambut kami melalui gerbangnya yang pertama, Cairo
International Airport. Berbeda dengan dubai, CIA lebih terkesan
mempertahankan ciri khasnya sebagai representasi negara historis yang
kaya akan sejarah peradaban manusia. Ya, bicara mengenai Mesir maka
kita akan terkesima dengan perpaduan budaya yang menghiasinya dalam
kurun waktu yang sangat lama. Mulai dari peradaban tertua di dunia
zaman firaun atau terkenal dengan sebutan pharanoic, lalu
persinggahan romawi berpadu yunani yang di kenal dengan helenistic, kemudian
coptic, dilanjutkan peradaban Islam dengan ciri khas dinasti
yang berkuasa, lalu Mesir modern yang kaya cerita, hingga revolusi
penuh nuansa heroisme yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai
pemenang pemilu setelah lama menjadi musuh utama rezim penguasa. Ya, ia
begitu low profile dan sangat jauh jika dibandingkan dengan
Dubai. Walau bagaimanapun aku dan teman-teman menyiratkan kata yang sama
“ahlan wa sahlan fi ardhil anbiyaa’.”
Keluar dari bandara kami telah dijemput oleh bus untuk dibawa ke
flat yang sudah disiapkan. Selama perjalanan menuju flat, aku lebih
banyak diam, teringat keluarga yang ada di nusantara, guru, juga
sahabat-sahabatku. Tak kuasa, air mata pun menetes membasahi pipi.
Pemandangan sepanjang jalan tak begitu aku perhatikan mengingat waktu
itu kepala juga agak terasa pening. Mungkin jetlag akibat
perjalanan yang mencapai 8000 km lintas benua juga perubahan waktu dan
cuaca. Setiba di flat pun rasa pening masih terasa. Namun semua itu
dapat ditahan karena rasa bangga untuk menjejaki perjuangan di belahan
bumi yang baru. Segera setelah tiba di flat, kami memasukkan
barang-barang yang super banyak untuk kemudian istirahat sejenak. Alhamdulillah
dengan izin Allah kami dapat flat di lantai ardliyyah atau
dasar, sehingga memudahkan kami untuk tidak repot-repot naik turun
tangga. Flat kami terletak di Madiinatu Nasr atau Nasr city yang memang
banyak mahasiswa asia tenggara khususnya Indonesia yang memilih daerah
ini sebagai tempat tinggal. Tepatnya lagi di Hai ‘aasyir, Bawwabah
Tsaany, imarah 61.
Beberapa jam setelah istirahat, kakak-kakak senior menyuruh kumpul
sebentar untuk taaruf. Ya, merekalah yang nantinya menjadi
keluargaku di negeri kedua ini. Ternyata, kebanyakan dari mereka adalah
alumni ma’had Husnul Khatimah Kuningan. Hanya empat orang yang
merupakan alumni luar, itu termasuk aku. Dan kebetulan kami berempat di
kamar yang sama. Di flat sendiri, terdapat tiga kamar yang cukup luas.
Setiap kamar diisi empat orang. Tercatat hanya aku dan seorang lagi
yang notabene dari Jawa. Mayoritas dari Sunda, tak ayal bahasa sunda
pun menjadi dominan di sini, ya ya ya mungkin keuntungan bagiku untuk
belajar bahasa sunda juga, siapa tahu kelak Allah menakdirkanku dengan
orang sunda, hahaha. Ketiga teman sekamarku juga dari suku sunda, hanya
saja salah satu mereka bukan Sunda asli, tepatnya blesteran minang dan
sunda. Hari pertama aku manfaatkan untuk menjalin keakraban dengan
mereka, sharing, canda, dan tawa pun mewarnai kebersamaan
kami. Hanya saja tak dapat disangkal, kepala ini masih cukup pening dan
butuh istirahat lebih.
Azan ashar berkumandang. Dengan ditemani kakak senior, aku dan
kawanku pergi ke masjid untuk pertama kalinya setelah menjejakkan kaki
di kairo. Masjid terletak cukup dekat dari flat. Jalan kaki tak lebih
dari sepuluh menit kami sudah sampai. As salam namanya, cukup besar di
tambah satu bangunan lagi yang dari luar menyerupai mushala, namun
ternyata ia adalah daurul miyah, tempat wudhu dan toilet.
Masjid ini berbentuk segi delapan. Hanya memiliki satu lantai tapi
lumayan luas untuk menampung jamaah. Dari papan pengumuman yang
terpampang di dinding masjid tertera bahwa masjid tidak menerima
sumbangan bahkan infak atau amal. Oleh karena itu disini tidak terdapat
kotak amal lazimnya masjid di Indonesia. Masjid inilah yang menjadi
tempat bersujud dan mengadu kami kepada Rabb pencipta alam semesta di
awal-awal hari kami di kairo. O ya, ada cerita lucu ketika kami
menunggu waktu shalat Isya’ setelah menunaikan shalat maghrib. Kepala
yang masih pening membuat kami ingin segera istirahat dan tidur di flat
selepas shalat Isya’. Setelah azan isya’ dan shalat sunnah qabliyah
kami menanti iqamah. Dua puluh menit lebih iqamah tak kunjung
dikumandangkan. Kepala yang masih pening membuat kami tidak sabar
menanti, akhirnya kami pun berinisiatif membuat jamaah sendiri di pojok
masjid. Teman-teman menunjukku untuk menjadi imam. Eh, ternyata ada 3
atau 4 orang Mesir yang ikut jamaah, mungkin ia mengira jamaah masjid
sudah selesai. Setelah salam, mereka pun berdiri lagi mengikuti jamaah
masjid yang baru di mulai sambil ngomong-ngomong gag jelas. Kami pun
cuek saja dan akhirnya memilih pulang beristirahat agar dapat
menyesuaikan waktu Kairo esok harinya.
Alhamdulillah, di hari kedua aku relatif bisa menyesuaikan
dengan waktu. Agaknya teman-teman masih belum sepenuhnya bisa, banyak
dari mereka yang masih melek malam harinya dan baru tidur pagi hari,
masih berjiwa Indonesia. Hanya saja kendala cuaca yang bagiku
masih banyak perlu penyesuaian, walau hari-hari ini cuaca Mesir masih
dalam tahap peralihan sehingga tidak terlalu ekstrim dan relatif sama
dengan Jakarta, namun ketahanan tubuhku yang memang kurang baik
berakibat pada bibir yang super kering. Lebih parah dari yang ku alami
kala di Ciputat. Tapi akhirnya masalah ini dapat teratasi setelah
disarankan kakak senior untuk membeli lip mousturizer, berbentuk
seperti lipstik yang berharga cukup murah, hanya tiga pounds setengah
atau kurang lebih lima ribu rupiah. Di sini aku pribadi tidak terlalu
mempermasalahkan makanan. Apalagi setelah tahu teman-teman serumah pada
jago masak, yah... lagi-lagi aku beruntung bisa belajar masak dari
mereka. Pernah suatu ketika, teman-teman pada keluar, aku izin tidak
ikut karena suatu alasan. Selepas Isya’ mereka tak kunjung datang.
Karena perut ini sudah bernyanyi, aku berinisiatif masak untukku
pribadi, juga sekalian untuk teman-teman. Karena bingung, aku mencari
yang mudah saja, telur plus bumbu pecel. Tatkala masak telur aku salah
memasukkan gula yang ku kira garam. Akhirnya jadilah telur gula manis.
Karena yang masak, aku terima saja apa adanya. Tak berapa lama
teman-teman datang. Melihat ada telur di meja dapur, mereka langsung
menyantapnya tanpa menghiraukan rasa. Dalam hati aku berkata, “alhamdulillah
ternyata masakanku laku juga” hahaha. Makanan khas Mesir juga tak
ekstrim amat rasanya. Hanya saja memang agak asing di lidah, contohnya
tha’miyah bil beydl, eisy, fuul, dan lain
sebagainya. Untuk bahasa, memang bagiku pribadi masih sulit mencerna.
Walau begitu aku beranikan diri untuk bercakap-cakap dengan orang
pribumi, kadang waktu beli sesuatu, kadang di bus, atau di masjid.
Kalau sudah bener-bener tidak nyambung, ya langsung saja aku katakan, “
musy faahim yaa rayyis, ana gadiid hina.”
Hari kedua di Mesir merupakan jumat pertama bagiku dan
kawan-kawanku. Pada shalat jumat pertama ini yang bertindak sebagai imam
dan khatib adalah DR. Omar bin Abdul Aziz. Karena memakai bahasa fusha,
aku cukup mampu memahami isi khutbah. Khutbahnya berisi tanggapan
beliau seputar isu internasional yang tengah marak dan menjadi pusat
perhatian dunia. Ya, tentang film penghinaan terhadap Nabi Saw “innocence
of Moslem.” Dari khutbahnya, tampak beliau benar-benar geram
terhadap apa yang terjadi di barat dan Amerika. Dengan dalih kebebasan
berekspresi mereka telah menginjak-nginjak harga diri umat Islam. Belum
sembuh luka umat Islam dari gambar-gambar karikatur Nabi Saw, kini
telah kembali di serang dengan film yang sangat mendiskreditkan sang
musthafa. Ya, mesir merupakan salah satu negara yang melancarkan protes
sangat keras atas film ini hingga mengundang perhatian media
internasional setelah Libya yang menelan korban tewasnya dubes AS. Pada
hari sabtu ba’da dzuhur, ceramah pun masih seputar tanggapan atas film
itu. Namun kali ini dengan Syaikh yang berbeda. Aku lupa namanya,
namun perawakannya mengingatkanku pada Syaikh Ahmad Yasin, pemimpin
kharismatik Hamas Palestina yang syahid- insyaAllah- dibom
apache zionis Israel. Sama-sama buta dan lumpuh, bedanya hanya suaranya
yang masih menggelegar seperti singa, sementara Syekh Ahmad Yasin
suaranya pelan dan berat. Inilah kosekuensi yang harus diambil oleh
sang penghina Nabi Saw, maka jangan harap umat islam akan diam dan
pasrah. Dalam bukunya Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan
dalam satu bab mengenai hal ini dengan judul sangar “pedang terhunus
untuk penghujat Nabi Saw.”
Pada sore hari jumat, setiap kamar dihimbau untuk memilih perwakilan
yang akan berbelanja keperluan rumah dan kamar. Teman-teman kamar
menyuruhku untuk pergi sebagai wakil. Dengan mobil sewaan kami pun
menjelajahi kairo untuk mendapatkan barang yang sudah terdata. Alhamdulillah
aku dapat menikmati kairo di malam hari dan mengamati pemandangan
di sepanjang jalan. Kairo, ia tak seperti yang terbayangkan
sebelumnya. Ia layaknya kota mati selepas perang. Untuk orang
Indonesia, hendaknya ia perlu bersyukur, jika tidak maka kiranya ia
perlu datang ke Kairo. Jalanan yang bergelombang tidak rata, batu-batu
yang berserakan, puing-puing yang tercecer di jalanan, dan jarangnya traffict
light. Waktu itu kami terjebak macet di pertigaan jalan raya. Tak
ada mabahits yang mengatur, tak ada traffict light,
akhirnya pengatur lalu lintas dadakan pun tampil. Beberapa dari
pengendara keluar dari mobil untuk mengatur lalu lintas dengan sukarela.
Sungguh kejadian yang belum pernah ku lihat di Jakarta.
Kami berbelanja di carefour city centre. Sangat ramai. Disinilah aku
melihat orang-orang Mesir mulai dari yang tua, hingga anak-anak kecil.
Disini pula aku menyaksikan perempuan-perempuan Mesir yang katanya
mewarisi kecantikan Cleopatra dan Nefertiti. Memang, mereka rata-rata
memberikanku kesimpulan sama. Hidungnya mancung dan rupawan. Bisa jadi
benar apa yang dikatakan salah sorang guruku bahwa jelekanya wanita
Mesir ketika di Indonesia ia akan jadi artis. Juga apa yang diceritakan
novelis Habiburrahman El shirazy dalam noveletnya “pudarnya pesona
Cleopatra.” Astaghfirullah, allahumma innii a’uudzu bika min
fitnatin nisaa’.
Pesona itu akhirnya ku dapati juga. Karena tidak sabar untuk segera
pergi ke kampus, saya dan seorang kawan nekat pergi ke kampus tanpa
ditemani senior. Alhamdulillah di perjalanan kami berjumpa
dengan mahasiswa S2 dari Indonesia. Kami berkenalan, dan akhirnya
beliaulah yang mengantar dan menemani kami menuju Al azhar dan
sekitarnya. Sebelum tiba di Al Azhar kami turun lebih dahulu di Halte
Hai saabi’ dekat kulliyyatul banaat. Ada kejadian memilukan
waktu itu. Seorang sopir angkot membuka pintu mobil, tapi dari belakang
taksi melaju hingga tabrakan tak terelakkan. Seketika itu pintu mobil
rusak. Adu mulut pun tak tertahankan. Aku berpikir kalau seandainya itu
terjadi di Indonesia, pasti bukan hanya adu mulut yang terjadi,
melainkan juga adu bogem.
Pesona keilmuan di Al-Azhar benar-benar menarik perhatianku. Ia
terletak di wilayah darraasah. Kami berjalan-jalan di sekitar
kampus, di masjid Al-Azhar, dan masjid Husein yang di dalamnya terdapat
makam yang katanya adalah kepala Husein. Kata kenalan kami di masjid
ini banyak orang syiah. Di masjid Al-azhar Asy-syarif sendiri banyak halaqah
yang diisi oleh para masyayikh. Itu diselenggarakan
setiap hari, dari pagi hari sampai larut malam. Yang dibahas pun
bermacam-macam berkaitan dengan ilmu syar’i dan bahasa arab. tergantung
tempatnya di setiap bilik. Ada yang di bilik atraak jam sekian
membahas tentang nahwu sharf, di bilik maghaaribah jam yang
sama membahas ushul fiqh, juga bilik lain yang membahas variasi disiplin
ilmu. Subhaanallah, diri ini benar-benar tidak sabar untuk
segera masuk kuliah dan mengikuti muhadharah serta halaqah para
masyayikh Al azhar.
Ya, walau bagaimanapun aku kini telah menjejakkan kaki di bumi para
Nabi. Tujuanku disini bukanlah untuk mencari apresiasi, menarik
simpati, alih-alih gengsi. Namun tiada lain adalah untuk menuntut dan
menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menjadi bermanfaat bagi umat
kelak, khususnya bagi keluargaku. Orientasi niat perlu dijaga agar
tidak melenceng dari misi utama. Mesir, khusunya Kairo harus
ditaklukan, karena kalau tidak ia akan menaklukanmu. “Al qaahirah in
lam tuqahhirhaa qahharatka,” begitu kata pepatah pribumi. Tidak
hanya air mata yang melepasku, namun peluh keringat perjuangan orang
tua juga telah menjadi bekalku. Perjuangan di depan, pada perspektif
tertentu memang terlihat lebih terjal dan tak senyaman sebelumnya. Tapi
aku yakin janji-Nya bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Juga
dalam firman-Nya:
وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (99)
“Dan Yusuf a.s berkata; masuklah kamu ke negeri Mesir insyaAllah
kamu akan dalam keadaan aman.” (QS. Yusuf: 99)
Bismillaah... LIFE IS STRUGGLE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar