Konflik
berasal dari kata kerja latin “configure” yang berarti “saling
memukul” secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social
antara dua orang atau lebih (bias juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. “Tidak Satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antara anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lain, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.” (Max Weber)
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya menyangkut cirri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawa-sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi social, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol
akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna sangat
mungkin menciptakan konflik.
A. DEFINISI KONFLIK
1. Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut
sebagai “The Conflict Paradoks”, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik
dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
a.
Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan,
dan harus dihindari.
b.
Pangangan hubungan manusia (The Human Relation View).
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi.
c. Pandangan interaksionis (The Human
Relation View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau
organisasi terjadinya konflik.
2. Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian,
yaitu pandangan tradisional (Old
view) dan pandangan modern (Current View):
a.
Pandangan tradisional. Pandangan tradisioanal menganggap bahwa
konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi
dan mencegah pencapaian yang optimal.
b.
Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan
banyak factor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi,
nilai-nilai, dan sebagainya.
3. Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan
Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1.
Dalam pandangan tradisoanal, konflik dianggap sebagai suatu yang
buruk dan harus dihindari. Pandagan ini sangat menghindari adanya konflikkarena
dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi.
2.
Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan
bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi
logis interaksi manusia.
4. Menurut Penelitian Lain
a.
Konflik terjadi karena interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini
dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui
kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi
tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, jika
komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses
itu, pasti ada konflik (1982: 2434). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara
nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerakan badan, yang mengekspresikan
pertentangan (Stewart & Logan, 1993:
341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku
hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan
sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak
karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amrah.
b.
Konflik tidak selamanya berkonotasi
buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:
342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam
memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa
dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah dibalik adanya
perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara
menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan
datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu
terjadi kembali.
B. TEORI-TEORI KONFLIK
Ada
tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu social sampai saat ini, yaitu :
1. Teori Konflik C. Gertz,
tentang primodialisme,
2. Teori Konflik Karl. Marx, tentang pertentangan kelas, dan
3. Teori Konflik James Scott, tentang patron klien.
1. Teori Konflik Clifford Gertz Tentang
Primodialisme
Primodialisme
adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Banyak lapisan masyarakat sampai
sekarangpun hidup dengan semangat primodialisme yang kental baik secara pribadi
maupun secara berkelompok.
Ciri masyarakat primodialisme
menurut Gertz umumnya adalah mengutamakan kelompok, suku, agama, budaya dan
segalanya masih sangat diwarnai dengan ketertutupan, fanatisme, egoisme dan
cenderung mencari amannya sendiri. Konflik Primodial sering terjadi sikap tertutup dan fanatisme ini.
2. Teori Konflik Karl Marx tentang Pertentangan
Kelas
Teori
ini terutama didasarkan pada pemikiran Karl Marx yang melihat,
masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok atau
kelas social. Dalam pandangan teori ini, konflik masyarakat dikuasaii oleh
sebagian kelompok atau individu yang mempunyai kekuasaan dominan. Selain Marx
dan Hegel, tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser.
Dengan demikian maka tampaklah bahwa
ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.
Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin
bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa
menurut Marx, kepentingan kelas obyektif dibagi atas adanya kepentingan
manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem social yang harus
dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok
semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.
3. Teori Konflik James Scott, tentang Patron-Klien
Scoot
menyebutkan ada tiga factor yang menjadi penyebab tumbuh berkembangnya konflik
relasi patron-klien (patronase) dalam suatu komunitas, yaitu:
Ketimpangan ekonomi yang kuat dalam penguasaan
kekayaan yang banyak diterima sebagai sesuatu yang sah, ketiadaan jaminan fisik
dan ketidaksetaraan status dan kedudukan yang kuat dan bersifat personal serta
ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai wahana yang efektif bagi keamanan
dan pengembangan diri. Klien yang umumnya inferior cenderung dijadikan alat
memperkuat kekuasaan, status, dan kekayaan saja bagi patron (Scott,
1977:132). Konflik patron- klien lebih banyak terjadi karena relasi berat
sebelah- tidak setara baik secara ekonomi, social, politik, atau budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar