Alas Keras Keramik Basement
Alas
keras keramik basement
Menemani setiap
obrolan-obrolan yang kami bincang
Lagu-lagu yang kami
dendang
Isu-isu buruk yang
kami tendang
Pejabat-pejabat bejat
yang kami serang
Politisi-politisi
korup yang kami buang
Alas keras keramik
basement
Kita namai ini sebuah
sarang
Tempat macan-macan
yang siap berperang
Prajurit sejati yang
membawa pedang
Membantu masyarakat
yang sudah berang
Alas keras keramik
Basement
Debat diskusi mencari
menang
Semua kawan tak ada
curang
berjuang mencari
peluang
Berharap ia akan
datang
Ide-ide cemerlang
yang terang benderang
Pagi
itu seperti biasa aku menghabiskan waktuku dengan membaca buku, tidak ada kuliah.
Aku jelang matahari dengan segelas teh panas karena di pagi ini aku bebas tanpa
kelas, lembar demi lembar aku baca. Setiap kalimat yang keluar dari buku itu
aku coba pahami dan resapi maknyanya. Sangat indah, semakin aku sering membaca
buku maka semakin aku merasa bodoh. Dunia ini sungguh luas, ilmu dan informasi
semakin hari semakin meninggi. Kadang aku merasa tidak dapat mengimbanginya,
aku terasa kecil dalam perkembangan ilmu dan informasi yang besar. Tetapi aku
tidak berkecil hati, aku berusaha dan mencoba untuk menguasai dan mengetahui
setiap informasi dan setiap ilmu yang kubaca dari buku, yang kudapat dari
bangku kuliah ataupun alas keramik keras basement kampusku. Alas basement
kampus yang sekarang kurindu, karena ketika semester awal dari sanalah aku
mendapatkan ilmu, entah itu keluar dari seniorku, dari kawan seangkatanku,
ataupun dari juniorku. Aku sangat rindu suasana itu, namun kini itu semua
tinggal kenangan. Mahasiswa di zaman sekarang lebih asyik menghabiskan waktu
mereka di Mall-mall, café-café, restoran-restoran, sevel-sevel, ataupun
tempat-tempat kapitalis lainnya. Aku muak, aku bosan. Padahal dari alas keras
keramik basement itulah kadang muncul ide-ide brilliant tentang jalan keluar
masalah-masalah internal kampus, event-event mahasiswa, dan bahkan jalan keluar
dari sebuah masalah yang sedang di risaukan oleh Negara. Lebay memang, tapi
itulah kenyataannya. Alas keras keramik itu kini hanya menjadi tempat
pembuangan sampah mahasiswa yang asyik nongkrong atau pacaran. Buku yang dulu
menjadi kawan mahasiswa, kini hanya menjadi pajangan di lemari-lemari buku di
kots-kots mereka. Mereka kini tak ubahnya seperti boneka wayang yang dimainkan
oleh dalang, namun dalangnya tak terlihat, dalang itu bernama
Kapitalishedonisme.
Dalang tersebut sangat
menginginkan para wayangnya untuk sibuk dengan kesenangan duniawi dan membuat
lupa para wayangnya bahwa mereka adalah agent of change, lalu dimanakah
bersembunyinya jargon yang dahulu pernah ditakuti oleh seluruh pejabat
pemerintahan ? Jargon yang membuat bulu kuduk pejabat pemerintah yang korupsi ?
Mahasiswa tak ubahnya seperti anak SMA, SMP, atau bahkan SD karena mereka hanya
mendapatkan ilmu dari dosen-dosen mereka tanpa mereka berani mengkritisi
ataupun menolak argument yang disampaikan dosen tadi. Cukup sudah drama yang
dibuat oleh Mahasiswa zaman sekarang. Dosen ibarat sutradara dan Mahasiswa
sebagai aktor kelas teri yang bisa dimanfaatkan oleh dosen-dosen mereka, andai
alas keras keramik basement masih ada dan dapat dipakai untuk membuka
forum-forum diskusi mungkin Mahasiswa di zaman sekarang tidak akan terkungkung
dan menjadi wayang bagi dalang Kapitalishedonisme.
Kini di otak mereka hanyalah
bagaimana caranya mereka bisa hidup senang tanpa ada gangguan dan hambatan yang
berat. Mereka tidak berani membuka mata terhadap informasi baru, mereka terlalu
takut beropini terhadap pemerintah. Aktivis yang dahulu menjadi orang-orang
penting di kampus hanya mencari eksistensi tanpa mengimbanginya dengan esensi,
akhirnya yang muncul adalah mahasiswa-mahasiswa sok tahu yang hanya bisa
berbicara tanpa dapat membuat konsep ataupun membuat system baru. Paradigm ini
diperparah dengan adanya demo bayaran, yang isinya adalah mahasiswa yang hanya
mencari keuntungan dari aksi tersebut. Walaupun tidak semua mahasiswa yang ikut
dalam aksi bayaran memiliki pandangan matrealistis. Tapi ada yang lebih parah,
mahasiswa yang aksi hanya mencari sensasi ataupun mencari esksistensi. Agar
dibilang dia adalah aktivis sejati, yang sejatinya hanyalah bullshit.
Aksi tanpa memahami grand title yang dibawa oleh para masa aksi itu, ini
terjadi di beberapa kampus, ketika penulis ikut dalam sebuah aksi besar dengan
grand title yang besar dan masa aksi dalam jumlah besar pula. Banyak dari
kawan-kawan penulsi yang tidak tahu aksi apa ? Ataupun prosedur dari aksi
tersebut. Bahkan ada dari beberapa mereka yang mengaku ikut aksi karena di
paksa oleh senior. Lalu ? Siapa yang salah senior yang tidak mengajak briefing
membahas grand title aksi ? Atau juniornya yang mau saja diketeki oleh para
Senior mereka ? Biasanya junior yang ikut aksi dipaksa oleh senior mereka
berpikir lebih baik mereka masih bisa ikut aksi (walaupun dipaksa) daripada
kawan-kawannya yang lain yang sama sekali tidak ikut aksi dan hanya bisa
menonton mereka dari layar televisi. Benar-benar banyak yang salah dari sistem
yang ada di dunia Mahasiswa zaman sekarang. Semoga saka dalang Kapitalishedonisme
itu dapat segera kita bunuh bersama-sama, hingga jargon mahasiswa sebagai agent
of change benar-benar dapat terealisasi dan dapat dirasakan manfaatnya oleh
Bangsa, Nusa dan Agama untuk kedepannya.
Dian Ajis Syah Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar