Jumat, 23 November 2012

Ahlan Wa Sahlan

Air mata itupun mengalir. Dari pelupuk mata orang-orang yang begitu berjasa dalam hidupku. Ibuku, dalam pelukan hangat dan linang haru ia membisikkan beberapa kalimat kepadaku, anaknya. Bapak, seperti biasa ia lebih memilih diam dalam keramaian, namun dalam diamnya ia menyiratkan harapan besar kepada anaknya, itu aku ketahui beberapa jam sebelum keberangkatan ke bandara setelah  bercakap empat mata dengannya. Ya, bagiku ia seorang nelayan yang jujur dalam pengabdiannya sebagai kepala keluarga, ia mampu menyekolahkan enam putra-putrinya agar lebih tinggi darinya yang hanya lulus sekolah dasar. Kakak-kakakku,  adik-adikku, juga keluarga yang senantiasa memberikan semangat untukku agar selalu tegap dalam langkah dan berjuang tanpa lelah. Tak lupa juga mereka, orang-orang yang tidak ada hubungan darah denganku namun begitu gigih mengumandangkan arti perjuangan dan pengorbanan dalam hidup. Mereka adalah guru-guruku, sahabat-sahabatku, juga kawan-kawanku yang memberikan pemahaman akan kasih sayang, kepedulian, kelembutan, ketegasan, kesetiaan, kesabaran, keberanian, dan lain sebagainya hingga menjadikan hidup ini penuh dengan hikmah baik yang tersirat maupun tersurat. Subhaanallah inilah rahasia kehidupan yang senantiasa memperlhatkan warnanya yang beraneka ragam. Tak ayal, matapun tak sanggup membendung air yang ingin keluar untuk bisa menikmati suasana yang mengharu biru ini. Ya, sisi cengengku akhirnya nampak dan tak dapat ku tahan di depan mereka, orang-orang yang penuh arti bagiku. Dan bandara soekarno-hatta menjadi pijakan awal yang lantas memisahkanku  dengan mereka untuk menuju the next struggle. Ya, the next struggle, karena telah ku tulis bahwa “LIFE IS STRUGGLE.”

Pesawat emirates siap membawa penumpang untuk terbang mengudara. Burung besi raksasa ini terlihat gagah di hadapan anak adam yang akan memenuhi kandungannya. Alhamdulillah syiar Islam tampak dalam penerbangan ini, sebelum memberikan pengarahan, pramugari membacakan doa  berkendara yang dituntunkan oleh Nabi Saw. Beserta penumpang lainnya, kami pun bersiap menuju dubai, Uni Emirat Arab. Lho kok dubai? Ya, terlebih dahulu kami transit di dubai. Dubai International Airport namanya, ia menunjukkan keangkuhannya dengan penuh pesona yang serba modern. Di sepanjang lorong bandara, ia benar-benar pamer dengan kemegahannya. Ia menjadi representasi Uni Emirat Arab dewasa ini yang terseret dalam arus modernisasi di segala lini. Penghargaan-penghargaan dengan bangga di pajang dalam bentuk poster yang superbesar. Ia berada di level berbeda jika di bandingkan dengan bandara kebanggaan nusantara. Mulai dari pelayanan, ketertiban, dan infrastruktur yang digunakan.

Kurang lebih tiga jam kami menunggu penerbangan berikutnya. Seperti sebelumnya, pramugari terlebih dahulu membacakan doa. Bersiap kami menatap tempat tujuan, Ardhul anbiyaa’, Mesir. Tepatnya di ibu kotanya, Kairo. Pesawat yang dilengkapi dengan kamera bawah memberikan pengalaman tersendiri bagi penumpang. Kami  dapat melihat fenomena alam yang ada di bawah pesawat melalui layar yang ada di depan tiap tempat duduk. Karena perjalanan di siang hari, pemandangan cukup jelas terlihat. Nampak gurun pasir yang berbukit-bukit, bangunan khas timur tengah yang mirip kardus kotak-kotak di berdirikan, bentangan sungai Nil, hingga lautan yang aku menebaknya itu adalah terusan suez ataupun  ‘induk’nya, laut merah. Menakjubkan, subhaanallah.
Alhamdulillah pesawat landing dengan mulus. Bumi kinaanah telah menyambut kami melalui gerbangnya yang pertama, Cairo International Airport. Berbeda dengan dubai, CIA lebih terkesan mempertahankan ciri khasnya sebagai representasi negara historis yang kaya akan sejarah peradaban manusia. Ya, bicara mengenai Mesir maka kita akan terkesima dengan perpaduan budaya yang menghiasinya dalam kurun waktu yang sangat lama. Mulai dari peradaban tertua di dunia zaman firaun atau terkenal dengan sebutan pharanoic, lalu persinggahan romawi berpadu yunani yang di kenal dengan helenistic, kemudian coptic, dilanjutkan peradaban Islam dengan ciri khas dinasti yang berkuasa, lalu Mesir modern yang kaya cerita, hingga revolusi penuh nuansa heroisme yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai pemenang pemilu setelah lama menjadi musuh utama rezim penguasa. Ya, ia begitu low profile dan sangat jauh jika dibandingkan dengan Dubai. Walau bagaimanapun aku dan teman-teman menyiratkan kata yang sama “ahlan wa sahlan fi ardhil anbiyaa’.”

Keluar dari bandara kami telah dijemput oleh bus untuk dibawa ke flat yang sudah disiapkan. Selama perjalanan menuju flat, aku lebih banyak diam, teringat keluarga yang ada di nusantara, guru, juga sahabat-sahabatku. Tak kuasa, air mata pun menetes membasahi pipi. Pemandangan sepanjang jalan tak begitu aku perhatikan mengingat waktu itu kepala juga agak terasa pening. Mungkin jetlag akibat perjalanan yang mencapai 8000 km lintas benua juga perubahan waktu dan cuaca. Setiba di flat pun rasa pening masih terasa. Namun semua itu dapat ditahan karena rasa bangga untuk menjejaki perjuangan di belahan bumi yang baru. Segera setelah tiba di flat, kami memasukkan barang-barang yang super banyak untuk kemudian istirahat sejenak. Alhamdulillah dengan izin Allah kami dapat flat di lantai ardliyyah atau dasar, sehingga memudahkan kami untuk tidak repot-repot naik turun tangga. Flat kami terletak di Madiinatu Nasr atau Nasr city yang memang banyak mahasiswa asia tenggara khususnya Indonesia yang memilih daerah  ini sebagai tempat tinggal. Tepatnya lagi di Hai ‘aasyir, Bawwabah Tsaany, imarah 61.

Beberapa jam setelah istirahat, kakak-kakak senior menyuruh  kumpul sebentar untuk taaruf. Ya, merekalah yang nantinya menjadi keluargaku di negeri kedua ini. Ternyata, kebanyakan dari mereka adalah alumni ma’had Husnul Khatimah Kuningan. Hanya empat orang yang merupakan alumni luar, itu termasuk aku. Dan kebetulan kami berempat di kamar yang sama. Di flat sendiri, terdapat tiga kamar yang cukup luas. Setiap kamar diisi empat orang. Tercatat hanya aku dan seorang lagi yang notabene dari Jawa. Mayoritas dari Sunda, tak ayal bahasa sunda pun menjadi dominan di sini, ya ya ya mungkin keuntungan bagiku untuk belajar bahasa sunda juga, siapa tahu kelak Allah menakdirkanku dengan orang sunda, hahaha. Ketiga teman sekamarku juga dari suku sunda, hanya saja salah satu mereka bukan Sunda asli, tepatnya blesteran minang dan sunda. Hari pertama aku manfaatkan untuk menjalin keakraban dengan mereka, sharing, canda, dan tawa pun mewarnai kebersamaan kami. Hanya saja tak dapat disangkal, kepala ini masih cukup pening dan butuh istirahat lebih.
Azan ashar berkumandang. Dengan ditemani kakak senior, aku dan kawanku pergi ke masjid untuk pertama kalinya setelah menjejakkan kaki di kairo. Masjid terletak cukup dekat dari flat. Jalan kaki tak lebih dari sepuluh menit kami sudah sampai. As salam namanya, cukup besar di tambah satu bangunan lagi yang dari luar menyerupai mushala, namun ternyata ia adalah daurul miyah, tempat wudhu dan toilet. Masjid ini berbentuk segi delapan. Hanya memiliki satu lantai tapi lumayan luas untuk menampung jamaah. Dari papan pengumuman yang terpampang di dinding masjid tertera bahwa masjid tidak menerima sumbangan bahkan infak atau amal. Oleh karena itu disini tidak terdapat kotak amal lazimnya masjid di Indonesia. Masjid inilah yang menjadi tempat bersujud dan mengadu kami kepada Rabb pencipta alam semesta di awal-awal hari kami di kairo. O ya, ada cerita lucu ketika kami menunggu waktu shalat Isya’ setelah menunaikan shalat maghrib. Kepala yang masih pening membuat kami ingin segera istirahat dan tidur di flat selepas shalat Isya’. Setelah azan isya’ dan shalat sunnah qabliyah kami  menanti iqamah. Dua puluh menit lebih iqamah tak kunjung dikumandangkan. Kepala yang masih pening membuat kami tidak sabar menanti, akhirnya kami pun berinisiatif membuat jamaah sendiri di pojok masjid. Teman-teman menunjukku untuk menjadi imam. Eh, ternyata ada 3 atau 4 orang Mesir yang ikut jamaah, mungkin ia mengira jamaah masjid sudah selesai. Setelah salam, mereka pun berdiri lagi mengikuti jamaah masjid yang baru di mulai sambil ngomong-ngomong gag jelas. Kami pun cuek saja dan  akhirnya memilih pulang beristirahat agar dapat menyesuaikan waktu Kairo esok harinya.

Alhamdulillah, di hari kedua aku relatif bisa menyesuaikan dengan waktu. Agaknya teman-teman masih belum sepenuhnya bisa, banyak dari mereka yang masih melek malam harinya dan baru tidur pagi hari, masih berjiwa Indonesia. Hanya saja kendala cuaca yang bagiku masih banyak perlu penyesuaian, walau hari-hari ini cuaca Mesir masih dalam tahap peralihan sehingga tidak terlalu ekstrim dan relatif sama dengan Jakarta, namun ketahanan tubuhku yang memang kurang baik berakibat pada bibir yang super kering. Lebih parah dari yang ku alami kala di Ciputat. Tapi akhirnya masalah ini dapat teratasi setelah disarankan kakak senior untuk membeli lip mousturizer, berbentuk seperti lipstik yang berharga cukup murah, hanya tiga pounds setengah atau kurang lebih lima ribu rupiah. Di sini aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkan makanan. Apalagi setelah tahu teman-teman serumah pada jago masak, yah... lagi-lagi aku beruntung bisa belajar masak dari mereka. Pernah suatu ketika, teman-teman pada keluar, aku izin tidak ikut karena suatu alasan. Selepas Isya’ mereka tak kunjung datang. Karena perut ini sudah bernyanyi, aku berinisiatif masak untukku pribadi, juga sekalian untuk teman-teman. Karena bingung, aku mencari yang mudah saja, telur plus bumbu pecel. Tatkala masak telur aku salah memasukkan gula yang ku kira garam. Akhirnya jadilah telur gula manis. Karena yang masak, aku terima saja apa adanya. Tak berapa lama teman-teman datang. Melihat ada telur di meja dapur, mereka langsung menyantapnya tanpa menghiraukan rasa. Dalam hati aku berkata, “alhamdulillah ternyata masakanku laku juga” hahaha. Makanan khas Mesir juga tak ekstrim amat rasanya. Hanya saja memang agak asing di lidah, contohnya tha’miyah bil beydl, eisy, fuul, dan lain sebagainya. Untuk bahasa, memang bagiku  pribadi masih sulit mencerna. Walau begitu aku beranikan diri untuk bercakap-cakap dengan orang pribumi, kadang waktu beli sesuatu, kadang di bus, atau di masjid. Kalau sudah bener-bener tidak nyambung, ya langsung saja aku katakan, “ musy faahim yaa rayyis, ana gadiid hina.”

Hari kedua di Mesir merupakan jumat pertama bagiku dan kawan-kawanku. Pada shalat jumat pertama ini yang bertindak sebagai imam dan khatib adalah DR. Omar bin Abdul Aziz. Karena memakai bahasa fusha, aku cukup mampu memahami isi khutbah. Khutbahnya berisi tanggapan beliau seputar isu internasional yang tengah marak dan menjadi pusat perhatian dunia. Ya, tentang film penghinaan terhadap Nabi Saw “innocence of Moslem.” Dari khutbahnya, tampak beliau benar-benar geram terhadap apa yang terjadi di barat dan Amerika. Dengan dalih kebebasan berekspresi mereka telah menginjak-nginjak harga diri umat Islam. Belum sembuh luka umat Islam dari gambar-gambar karikatur Nabi Saw, kini telah kembali di serang dengan film yang sangat mendiskreditkan sang musthafa. Ya, mesir merupakan salah satu negara yang melancarkan protes sangat keras atas film ini hingga mengundang perhatian media internasional setelah Libya yang menelan korban tewasnya dubes AS. Pada hari sabtu ba’da dzuhur, ceramah pun masih seputar tanggapan atas film itu. Namun kali ini dengan Syaikh yang berbeda. Aku lupa namanya, namun perawakannya mengingatkanku pada Syaikh Ahmad Yasin, pemimpin kharismatik Hamas Palestina yang syahid- insyaAllah- dibom apache zionis Israel. Sama-sama buta dan lumpuh, bedanya hanya suaranya yang masih menggelegar seperti singa, sementara Syekh Ahmad Yasin suaranya pelan dan berat. Inilah kosekuensi yang harus diambil oleh sang penghina Nabi Saw, maka jangan harap umat islam akan diam dan pasrah. Dalam bukunya Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam satu bab mengenai hal ini dengan judul sangar “pedang terhunus untuk penghujat Nabi Saw.”

Pada sore hari jumat, setiap kamar dihimbau untuk memilih perwakilan yang akan berbelanja keperluan rumah dan kamar. Teman-teman kamar menyuruhku untuk pergi sebagai wakil. Dengan mobil sewaan kami pun menjelajahi kairo untuk mendapatkan barang yang sudah terdata. Alhamdulillah aku dapat menikmati kairo di malam hari dan mengamati pemandangan di sepanjang jalan. Kairo, ia tak seperti yang terbayangkan sebelumnya. Ia layaknya kota mati selepas perang. Untuk orang Indonesia, hendaknya ia perlu bersyukur, jika tidak maka kiranya ia perlu datang ke Kairo. Jalanan yang bergelombang tidak rata, batu-batu yang berserakan, puing-puing yang tercecer di jalanan, dan jarangnya traffict light. Waktu itu kami terjebak macet di pertigaan jalan raya. Tak ada mabahits yang mengatur, tak ada traffict light, akhirnya pengatur lalu lintas dadakan pun tampil. Beberapa dari pengendara keluar dari mobil untuk mengatur lalu lintas dengan sukarela. Sungguh kejadian yang belum pernah ku lihat di Jakarta.
Kami berbelanja di carefour city centre. Sangat ramai. Disinilah aku melihat orang-orang Mesir mulai dari yang tua, hingga anak-anak kecil. Disini pula aku menyaksikan perempuan-perempuan Mesir yang katanya mewarisi kecantikan Cleopatra dan Nefertiti. Memang, mereka rata-rata memberikanku kesimpulan sama. Hidungnya mancung dan rupawan. Bisa jadi benar apa yang dikatakan salah sorang guruku bahwa jelekanya wanita Mesir ketika di Indonesia ia akan jadi artis.  Juga apa yang diceritakan novelis Habiburrahman El shirazy dalam noveletnya “pudarnya pesona Cleopatra.” Astaghfirullah, allahumma innii a’uudzu bika min fitnatin nisaa’.

Pesona itu akhirnya ku dapati juga. Karena tidak sabar untuk segera pergi ke kampus, saya dan seorang kawan nekat pergi ke kampus tanpa ditemani senior. Alhamdulillah di perjalanan kami berjumpa dengan mahasiswa S2 dari Indonesia. Kami berkenalan, dan akhirnya beliaulah yang mengantar dan menemani kami menuju Al azhar dan sekitarnya. Sebelum tiba di Al Azhar kami turun lebih dahulu di Halte Hai saabi’ dekat kulliyyatul banaat. Ada kejadian memilukan waktu itu. Seorang sopir angkot membuka pintu mobil, tapi dari belakang taksi melaju hingga tabrakan tak terelakkan. Seketika itu pintu mobil rusak. Adu mulut pun tak tertahankan. Aku berpikir kalau seandainya itu terjadi di Indonesia, pasti bukan hanya adu mulut yang terjadi, melainkan juga adu bogem.
Pesona keilmuan di Al-Azhar benar-benar menarik perhatianku. Ia terletak di wilayah darraasah. Kami berjalan-jalan di sekitar kampus, di masjid Al-Azhar, dan masjid Husein yang di dalamnya terdapat makam yang katanya adalah kepala Husein. Kata kenalan kami di masjid ini banyak orang syiah. Di masjid Al-azhar Asy-syarif sendiri banyak halaqah yang diisi oleh para masyayikh. Itu diselenggarakan setiap hari, dari pagi hari sampai larut malam. Yang dibahas pun bermacam-macam berkaitan dengan ilmu syar’i dan bahasa arab. tergantung tempatnya di setiap bilik. Ada yang di bilik atraak jam sekian membahas tentang nahwu sharf, di bilik maghaaribah jam yang sama membahas ushul fiqh, juga bilik lain yang membahas variasi disiplin ilmu.  Subhaanallah, diri ini benar-benar tidak sabar untuk segera masuk kuliah dan mengikuti muhadharah serta halaqah para masyayikh Al azhar.

Ya, walau bagaimanapun aku kini telah menjejakkan kaki di bumi para Nabi. Tujuanku disini bukanlah untuk mencari apresiasi, menarik simpati, alih-alih gengsi. Namun tiada lain adalah untuk menuntut dan menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menjadi bermanfaat bagi umat kelak, khususnya bagi keluargaku. Orientasi niat perlu dijaga agar tidak melenceng dari misi utama. Mesir, khusunya Kairo harus ditaklukan, karena kalau tidak ia akan menaklukanmu. “Al qaahirah in lam tuqahhirhaa qahharatka,” begitu kata pepatah pribumi. Tidak hanya air mata yang melepasku, namun peluh keringat perjuangan orang tua juga telah menjadi bekalku. Perjuangan di depan, pada perspektif tertentu memang terlihat lebih terjal dan tak senyaman sebelumnya. Tapi aku yakin janji-Nya bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Juga dalam firman-Nya:
وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (99)
“Dan Yusuf a.s berkata; masuklah kamu ke negeri Mesir insyaAllah kamu akan dalam keadaan aman.” (QS. Yusuf: 99)
Bismillaah...  LIFE IS STRUGGLE




Tidak ada komentar:

Posting Komentar