Jumat, 23 November 2012

Teori Konflik

-->
Konflik berasal dari kata kerja latin “configure” yang berarti “saling memukul” secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social antara dua orang atau lebih (bias juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. “Tidak Satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antara anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.” (Max Weber)
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya menyangkut cirri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa-sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi social, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik  bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna sangat mungkin menciptakan konflik.

A.  DEFINISI KONFLIK
1.  Menurut Robbin
          Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai “The Conflict Paradoks”, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
a.  Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari.
b.  Pangangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi.
c.  Pandangan interaksionis (The Human Relation View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik.                                                         

2.  Menurut Stoner dan Freeman
         Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
a.  Pandangan tradisional. Pandangan tradisioanal menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian yang optimal.
b.  Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak factor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai-nilai, dan sebagainya.

3.  Menurut Myers
            Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
      1.  Dalam pandangan tradisoanal, konflik dianggap sebagai suatu yang buruk dan harus dihindari. Pandagan ini sangat menghindari adanya konflikkarena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi.
       2.  Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia.
4.  Menurut Penelitian Lain
    a.  Konflik terjadi karena interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 2434). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerakan badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan,  1993: 341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai  ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amrah.
      b.  Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993: 342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah dibalik adanya perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi kembali.

B.  TEORI-TEORI KONFLIK
       Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu social sampai saat ini, yaitu :
          1. Teori Konflik C. Gertz, tentang primodialisme,
          2. Teori Konflik  Karl. Marx,  tentang pertentangan kelas, dan
          3. Teori Konflik  James Scott, tentang patron klien.

1.   Teori Konflik Clifford Gertz Tentang Primodialisme
   Primodialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Banyak lapisan masyarakat sampai sekarangpun hidup dengan semangat primodialisme yang kental baik secara pribadi maupun secara berkelompok.
        Ciri masyarakat primodialisme menurut Gertz umumnya adalah mengutamakan kelompok, suku, agama, budaya dan segalanya masih sangat diwarnai dengan ketertutupan, fanatisme, egoisme dan cenderung mencari amannya sendiri. Konflik Primodial sering terjadi    sikap tertutup dan fanatisme ini.
2.  Teori Konflik Karl Marx tentang Pertentangan Kelas
      Teori ini terutama didasarkan pada pemikiran Karl Marx yang melihat, masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok atau kelas social. Dalam pandangan teori ini, konflik masyarakat dikuasaii oleh sebagian kelompok atau individu yang mempunyai kekuasaan dominan. Selain Marx dan Hegel, tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser.
       Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Marx, kepentingan kelas obyektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem social yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.
3.  Teori Konflik James Scott, tentang Patron-Klien
    Scoot menyebutkan ada tiga factor yang menjadi penyebab tumbuh berkembangnya konflik relasi patron-klien (patronase) dalam suatu komunitas, yaitu:  

 Ketimpangan ekonomi yang kuat dalam penguasaan kekayaan yang banyak diterima sebagai sesuatu yang sah, ketiadaan jaminan fisik dan ketidaksetaraan status dan kedudukan yang kuat dan bersifat personal serta ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai wahana yang efektif bagi keamanan dan pengembangan diri. Klien yang umumnya inferior cenderung dijadikan alat memperkuat kekuasaan, status, dan kekayaan saja bagi patron (Scott, 1977:132). Konflik patron- klien lebih banyak terjadi karena relasi berat sebelah- tidak setara baik secara ekonomi, social, politik, atau budaya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar