Kamis, 15 November 2012

Pesantren Lembaga Pendidikan Moderat

Menarik membaca tulisan Ririn Handayani yang berjudul “Mengembalikan Citra Positif Pesantren” di harian ini, Jum’at (29/6) lalu. Ririn mengatakan bahwa akhir-akhir ini pesantren mendapat stigma negatif sebagai sarang teroris. Menurutnya, ada dua faktor utama yang melatarbelakangi stigmatisasi negatif terhadap pesantren itu. Pertama, adanya oknum-oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teroris. Kedua, interpretasi yang salah oleh sebagian orang terhadap konsep jihad dalam Islam.

Argumen Ririn di atas tentu sangat beralasan. Sebab, sejak terungkapnya para pelaku pengeboman Bali yang dilakukan oleh para alumni pesantren, sontak persepsi masyarakat terhadap pesantren menjadi berubah. Tudingan pesantren sebagai “sarang teroris” pun merebak. Yang teranyar adalah ledakan bom dan penemuan sejumlah senjata di sebuah “kamp militer” Umar bin Khattab, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tragedi ini menyedihkan mengingat “kamp” tersebut menyebut diri sebagai pondok pesantren, bahkan membawa nama sahabat Umar bin Khattab.

Hal itu ditambah dengan pemahaman agama yang cenderung tekstual. Sebagai contoh, pemaknaan terhadap konsep jihad, misalnya, hingga kini masih dipahami secara literal sebagai perjuangan “turun jalan” dengan membawa senjata seperti peperangan di masa Nabi. Padahal, Nabi sendiri menyebut perang Badar yang memanggul senjata itu sebagai jihad asghar (jihad kecil). Jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu.

Ini menandakan bahwa kita masih terlampau tertutupi oleh selimut fikih secara rapat. Kita masih gagal menangkap pesan substansialnya sebuah agama atau maqasid al-syari"ah (tujuan dari syariat) dari diturunkannya agama itu sendiri. Inilah-yang pelan-pelan tapi pasti-jika tidak segera diatasi akan membuat stigma pesantren menjadi buruk.

Sejarah Pesantren

Dalam sejarahnya, pesantren hadir tak lepas dari keterpanggilannya menegakkan Islam yang ramah dan toleran terhadap kemajemukan dan budaya Nusantara. Pesantren didirikan oleh para kiai Nahdlatul Ulama (NU). Indonesia sendiri bisa tegak berdiri tak luput dari peran dan jasa pesantren. Kiai dan santri sebagai “penjaga gawang” sah pesantren tak bosan-bosannya memperjuangkan negeri ini dari genggaman penjajah. Pesantren yang mengajarkan pendidikan moral dan adiluhung itu telah ikut serta dalam mengawal perjalanan bangsa ini, dari pra kemerdekaan, hingga sekarang.

Memang, pendidikan pesantren identik dengan pendidikan tradisional. Tapi justru dalam pendidikan tradisional itulah pesantren menyimpan nilai-nilai yang sangat penting untuk dimiliki bangsa ini. Sebab, ajaran yang tertera dalam pendidikan pesantren senafas dengan nilai-nilai kebangsaan. Justru yang membahayakan pesantren sekarang adalah ihwal polarisasi. Kini pesantren mengalami polarisasi yang cukup masif. Martin Van Bruinessen (1995) menyebut pesantren sebagai institusi keagamaan yang mengalami polarisasi ke dalam pola tradisional, modernis, reformis, dan fundamentalis. Di sinilah pesantren sudah bukan lagi menjadi karakter khas kelompok tradisional yang selama ini dikembangkan para kiai nahdliyin, tapi sudah memiliki aliran (Islam) masing-masing disesuaikan dengan ideologi pendirinya.

Dalam perkembangannya, polarisasi pesantren ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, eksistensi dan perkembangan pesantren semakin terlihat karena banyaknya pesantren yang berdiri, meskipun berbeda-beda varian ideologinya. Namun di sisi lain, kehadiran pesantren-pesantren baru tersebut acap kali menjadi bumerang bagi posisi pesantren yang sesungguhnya (tradisional-nahdliyin). Karena tidak ada aturan yang jelas mengenai pendirian pesantren seperti halnya mendirikan sekolahan, maka pesantren pun bermunculan bak cendawan di musim hujan, dan bahkan banyak yang melenceng dari visi kebangsaan.

Sekarang ini banyak pesantren versi Timur Tengah yang secara ruh dan ajarannya sudah jauh dari visi besar bagaimana pesantren itu didirikan. Pesantren seperti ini berwatak radikal dan ingin melakukan puritanisasi Islam. Paham mereka Wahabisme yang secara literal hadir ke Nusantara tanpa melalui transmisi budaya. Dalam perkembangannya, jaringan ini meluas tidak hanya berpatokan pada madzab Wahabisme, tapi juga mengambil ideologi radikal sejumlah intelektual, seperti Al-Maududi, Hasan Al-Banna, Hasan Turabi, Sayyid Qurb, dan sebagainya. Misinya, ideologi radikal yang bercambah di Timur Tengah itu hendak dipraktikkan di Tanah Air.

Ideologi radikal itu kemudian dibumbui pengajaran agama yang eksklusif dan dogmatis. Istilah Zionis-Kafir menjelma menjadi perjuangan mereka. Sehingga, aksi kekerasan apapun sah dilakukan untuk menghancurkan Zionis-Kafir, yang mereka sebut-sebut sebagai musuh Islam. Mereka juga menyebut aksi yang dilakukan dengan jihad.

Tentu saja, pengajaran seperti itu sudah tidak murni sebagai kesadaran otentik masyarakat Islam Nusantara, bahkan bisa dibilang seperti sesuatu yang aneh dan baru belakangan muncul. Sebab, posisi pesantren sebagai institusi keagamaan tidak didirikan untuk melahirkan radikalisme. Pesantren mengajarkan semua hal yang ada dalam agama; dari tauhid, syariat, hingga akhlak. Pendidikan pesantren diproyeksikan untuk menghasilkan out put (lulusan) yang berpengetahuan luas dan mampu melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat secara kontekstual dan santun, mengindahkan budaya setempat (Nusantara).

Moderat

Nurcholis Madjid dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren (1997) pernah mengatakan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian Nusantara. Sebab, kata “santri” sendiri berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat disimpulkan, pesantren itu prodak asli Nusantara, karena itu ia harus menyatu dengan budaya-budaya nusantara, bukan budaya Timur Tengah.

Apalagi pesantren sendiri adalah bagian dari kontribusi NU di bidang pendidikan. Secara geneologis, arah pendidikan pesantren sangat mirip dengan prinsip-prinsip dasar kebangsaan NU, yakni keseimbangan antara ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).

Fakta menunjukkan, tokoh-tokoh pesantren generasi awal seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Siddiq, KH Sahal Mahfudz adalah orang-orang yang tidak pernah memakai jalan radikal dalam melancarkan dakwah Islamnya. Para kiai ini justru menunjukkan wajah Islam yang ramah, akomodatif terhadap perubahan zaman, sehingga menunculkan karakter yang toleran dan damai.

Sebagai bagian dari perjuangan NU, watak pendidikan pesantren pun senafas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih “jalan damai”. Karena itu, dalam ranah ideologis atau madzhab, pendidikan pesantren lebih condong kepada Imam Syafi’i yang menjadi panutan mayoritas Muslim Indonesia: “Pendapatku adalah benar yang mengandung kemungkinan salah. Sedangkan pendapat pihak lain adalah salah yang mengandung kemungkinan benar.”

Sebab, sikap terbaik dalam segala hal adalah moderat (khair al-umûr awsâthuhâ). Demikian prinsip yang dikenal luas di kalangan pesantren. Moderat adalah bentuk dari keniscayaan toleransi sebagai ajaran paling mendasar dalam Islam. Tentu saja, prinsip ini tidak hanya berlaku dalam konteks pendidikan pesantren, melainkan telah menjadi semangat utama di balik hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar